spoon

Pidato Tan Malaka (1922) Tentang Komunisme dan Pan-Islamisme

0

Category :

Penerjemah: Ted Sprague

Ini adalah sebuah pidato yang disampaikan oleh tokoh Marxis Indonesia Tan Malaka pada Kongres Komunis Internasional ke-empat pada tanggal 12 Nopember 1922. Menentang thesis yang didraf oleh Lenin dan diadopsi pada Kongres Kedua, yang telah menekankan perlunya sebuah “perjuangan melawan Pan-Islamisme”, Tan Malaka mengusulkan sebuah pendekatan yang lebih positif. Tan Malaka (1897-1949) dipilih sebagai ketua Partai Komunis Indonesia pada tahun 1921, tetapi pada tahun berikutnya dia dipaksa untuk meninggalkan Hindia Belanda oleh pihak otoritas koloni. Setelah proklamasi kemerdekaan pada bulan Agustus 1945, dia kembali ke Indonesia untuk berpartisipasi dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Dia menjadi ketua Partai Murba (Partai Proletar)), yang dibentuk pada tahun 1948 untuk mengorganisir kelas pekerja oposisi terhadap pemerintahan Soekarno. Pada bulan Februari 1949 Tan Malaka ditangkap oleh tentara Indonesia dan dieksekusi.
Kamerad! Setelah mendengar pidato-pidato Jenderal Zinoviev, Jenderal Radek dan kamerad-kamerad Eropa lainnya, serta berkenaan dengan pentingnya, untuk kita di Timur juga, masalah front persatuan, saya pikir saya harus angkat bicara, atas nama Partai Komunis Jawa, untuk jutaan rakyat tertindas di Timur.
Saya harus mengajukan beberapa pertanyaan kepada kedua jenderal tersebut. Mungkin Jenderal Zinoviev tidak memikirkan mengenai sebuah front persatuan di Jawa; mungkin front persatuan kita adalah sesuatu yang berbeda. Tetapi keputusan dari Kongres Komunis Internasional Kedua secara praktis berarti bahwa kita harus membentuk sebuah front persatuan dengan kubu nasionalisme revolusioner. Karena, seperti yang harus kita akui, pembentukan sebuah front bersatu juga perlu di negara kita, front persatuan kita tidak bisa dibentuk dengan kaum Sosial Demokrat tetapi harus dengan kaum nasionalis revolusioner. Namun taktik yang digunakan oleh kaum nasionalis seringkali berbeda dengan taktik kita; sebagai contoh, taktik pemboikotan dan perjuangan pembebasan kaum Muslim, Pan-Islamisme. Dua hal inilah yang secara khusus saya pertimbangkan, sehingga saya bertanya begini. Pertama, apakah kita akan mendukung gerakan boikot atau tidak? Kedua, apakah kita akan mendukung Pan-Islamisme, ya atau tidak? Bila ya, seberapa jauh kita akan terlibat?
Metode boikot, harus saya akui, bukanlah sebuah metode Komunis, tapi hal itu adalah salah satu senjata paling tajam yang tersedia pada situasi penaklukan politik-militer di Timur. Dalam dua tahun terakhir kita telah menyaksikan keberhasilan aksi boikot rakyat Mesir 1919 melawan imperialisme Inggris, dan lagi boikot besar oleh Cina di akhir tahun 1919 dan awal tahun 1920. Gerakan boikot terbaru terjadi di India Inggris. Kita bisa melihat bahwa dalam beberapa tahun kedepan bentuk-bentuk pemboikotan lain akan digunakan di timur. Kita tahu bahwa ini bukan metode kita; ini adalah sebuah metode borjuis kecil, satu metode kepunyaan kaum borjuis nasionalis.
Lebih jauh kita bisa mengatakan; bahwa pemboikotan berarti dukungan terhadap kapitalisme domestik; tetapi kita juga telah menyaksikan bahwa setelah gerakan boikot di India, kini ada 1800 pemimpin yang dipenjara, bahwa pemboikotan telah membangkitkan sebuah atmosfer yang sangat revolusioner, dan gerakan boikot ini telah memaksa pemerintahan Inggris untuk meminta bantuan militer kepada Jepang, untuk menjaga-jaga kalau gerakan ini akan berkembang menjadi sebuah pemeberontakan bersenjata. Kita juga tahu bahwa para pemimpin Mahommedan di India – Dr. Kirchief, Hasret Mahoni dan Ali bersaudara – pada kenyataannya adalah kaum nasionalis; kita tidak melihat sebuah pemberontakan ketika Gandhi dipenjara. Tapi rakyat di India sangat paham seperti halnya setiap kaum revolusioner disana: bahwa sebuah pemberontakan lokal hanya akan berahir dalam kekalahan, karena kita tidak punya senjata atau militer lainnya di sana, oleh karena itu masalah gerakan boikot akan, sekarang atau di hari depan, menjadi sebuah masalah yang mendesak bagi kita kaum Komunis.
Baik di India maupun Jawa kita sadar bahwa banyak kaum Komunis yang cenderung ingin memproklamirkan sebuah gerakan boikot di Jawa, mungkin karena ide-ide Komunis yang berasal dari Rusia telah lama dilupakan, atau mungkin ada semacam pelepasan mood Komunis yang besar di India yang bisa menentang semua gerakan. Bagaimanapun juga kita dihadapkan pada pertanyaan: apakah kita akan mendukung taktik ini, ya atau tidak? Dan seberapa jauh kita akan mendukung?
Pan-Islamisme adalah sebuah sejarah yang panjang. Pertama saya akan berbicara tentang pengalaman kita di Hindia Belanda dimana kita telah bekerja sama dengan kaum Islamis. Di Jawa kita memiliki sebuah organisasi yang sangat besar dengan banyak petani yang sangat miskin, yaitu Sarekat Islam. Antara tahun 1912 dan 1916 organisasi ini memiliki sejuta anggota, mungkin sebanyak tiga atau empat juta. Itu adalah sebuah gerakan popular yang sangat besar, yang timbul secara spontan dan sangat revolusioner.
Hingga tahun 1921 kita berkolaborasi dengan mereka. Partai kita, terdiri dari 13,000 anggota, masuk ke pergerakan popular ini dan melakukan propaganda di dalamnya. Pada tahun 1921 kita berhasil membuat Sarekat Islam mengadopsi program kita. Sarekat Islam juga melakukan agitasii pedesaan mengenai kontrol pabrik-pabrik dan slogan: Semua kekuasaan untuk kaum tani miskin, Semua kekuasaan untuk kaum proletar! Dengan demikian Sarekat Islam melakukan propaganda yang sama seperti Partai Komunis kita, hanya saja terkadang menggunakan nama yang berbeda.
Namun pada tahun 1921 sebuah perpecahan timbul karena kritik yang ceroboh terhadap kepemimpinan Sarekat Islam. Pemerintah melalui agen-agennya di Sarekat Islam mengeksploitasi perpecahan ini, dan juga mengeksploitasi keputusan Kongres Komunis Internasional Kedua: Perjuangan melawan Pan-Islamisme! Apa kata mereka kepada para petani jelata? Mereka bilang: Lihatlah, Komunis tidak hanya menginginkan perpecahan, mereka ingin menghancurkan agamamu! Itu terlalu berlebihan bagi seorang petani muslim. Sang petani berpikir: aku telah kehilangan segalanya di dunia ini, haruskah aku kehilangan surgaku juga? Tidak akan! Ini adalah cara seorang Muslim jelata berpikir. Para propagandis dari agen-agen pemerintah telah berhasil mengeksploitasi ini dengan sangat baik. Jadi kita pecah. [Ketua: Waktu anda telah habis]
Saya datang dari Hindia Belanda, dan menempuh perjalanan selama empat puluh hari .[Tepuk Tangan]
Para anggota Sarekat Islam percaya pada propaganda kita dan tetap bersama kita di perut mereka, untuk menggunakan sebuah ekspresi yang popular, tetapi di hati mereka mereka masih bersama Sarekat Islam, dengan surga mereka. Karena surga adalah sesuatu yang tidak bisa kita berikan kepada mereka. Karena itulah, mereka memboikot pertemuan-peretemuan kita dan kita tidak bisa melanjutkan propaganda kita lagi.
Sejak awal tahun lalu kita telah bekerja untuk membangun kembali hubungan kita dengan Sarekat Islam. Pada kongres kami bulan Desember tahun lalu kita mengatakan bahwa Muslim di Kaukasus dan negara-negara lain, yang bekerjasama dengan Uni Soviet dan berjuang melawan kapitalisme internasional, memahami agama mereka dengan lebih baik, kami juga mengatakan bahwa, jika mereka ingin membuat sebuah propaganda mengenai agama mereka, mereka bisa melakukan ini, meskipun mereka tidak boleh melakukannya di dalam pertemuan-pertemuan tetapi di masjid-masjid.
Kami telah ditanya di pertemuan-pertemuan publik: Apakah Anda Muslim – ya atau tidak? Apakah Anda percaya pada Tuhan – ya atau tidak? Bagaimana kita menjawabnya? Ya, saya katakan, ketika saya berdiri di depan Tuhan saya adalah seorang Muslim, tapi ketika saya berdiri di depan banyak orang saya bukan seorang Muslim [Tepuk Tangan Meriah], karena Tuhan mengatakan bahwa banyak iblis di antara banyak manusia! [Tepuk Tangan Meriah] Jadi kami telah mengantarkan sebuah kekalahan pada para pemimpin mereka dengan Qur’an di tangan kita, dan di kongres kami tahun lalu kami telah memaksa para pemimpin mereka, melalui anggota mereka sendiri, untuk bekerjasama dengan kami.
Ketika sebuah pemogokan umum terjadi pada bulan Maret tahun lalu, para pekerja Muslim membutuhkan kami, karena kami memiliki pekerja kereta api di bawah kepemimpinan kami. Para pemimpin Sarekat Islam berkata: Anda ingin bekerjasama dengan kami, jadi Anda harus menolong kami juga. Tentu saja kami mendatangi mereka, dan berkata: Ya, Tuhan Anda maha kuasa, tapi Dia telah mengatakan bahwa di dunia ini pekerja kereta api adalah lebih berkuasa! [Tepuk Tangan Meriah] Pekerja kereta api adalah komite eksekutif Tuhan di dunia ini. [Tertawa]
Tapi ini tidak menyelesaikan masalah kita, jika kita pecah lagi dengan mereka kita bisa yakin bahwa para agen pemerintah akan berada di sana lagi dengan argumen Pan-Islamisme mereka. Jadi masalah Pan-Islamisme adalah sebuah masalah yang sangat mendadak. Tapi sekarang pertama-tama kita harus paham benar apa arti sesungguhnya dari kata Pan-Islamisme. Dulu, ini mempunyai sebuah makna historis dan berarti bahwa Islam harus menaklukkan seluruh dunia, pedang di tangan, dan ini harus dilakukan di bawah kepemimpinan seorang Khalifah [Pemimpin dari Negara Islam – Ed.], dan Sang Khalifah haruslah keturunan Arab. 400 tahun setelah meninggalnya Muhammad, kaum muslim terpisah menjadi tiga Negara besar dan oleh karena itu Perang Suci ini telah kehilangan arti pentingnya bagi semua dunia Islam. Hilang artinya bahwa, atas nama Tuhan, Khalifah dan agama Islam harus menaklukkan dunia, karena Khalifah Spanyol mengatakan, aku adalah benar-benar Khalifah sesungguhnya, aku harus membawa panji [Islam], dan Khalifah Mesir mengatakan hal yang sama, serta Khalifah Baghdad berkata, Aku adalah Khalifah yang sebenarnya, karena aku berasal dari suku Arab Quraish.
Jadi Pan-Islamisme tidak lagi memiliki arti sebenarnya, tapi kini dalam prakteknya memiliki sebuah arti yang benar-benar berbeda. Saat ini, Pan-Islamisme berarti perjuangan untuk pembebasan nasional, karena bagi kaum Muslim Islam adalah segalanya: tidak hanya agama, tetapi juga Negara, ekonomi, makanan, dan segalanya. Dengan demikian Pan-Islamisme saat ini berarti persaudaraan antar sesama Muslim, dan perjuangan kemerdakaan bukan hanya untuk Arab tetapi juga India, Jawa dan semua Muslim yang tertindas. Persaudaraan ini berarti perjuangan kemerdekaan praktis bukan hanya melawan kapitalisme Belanda, tapi juga kapitalisme Inggris, Perancis dan Itali, oleh karena itu melawan kapitalisme secara keseluruhan. Itulah arti Pan-Islamisme saat ini di Indonesia di antara rakyat kolonial yang tertindas, menurut propaganda rahasia mereka – perjuangan melawan semua kekuasaan imperialis di dunia.
Ini adalah sebuah tugas yang baru untuk kita. Seperti halnya kita ingin mendukung perjuangan nasional, kita juga ingin mendukung perjuangan kemerdekaan 250 juta Muslim yang sangat pemberani, yang hidup di bawah kekuasaaan imperialis. Karena itu saya tanya sekali lagi: haruskah kita mendukung Pan-Islamisme, dalam pengertian ini?
Saya akhiri pidato saya. [Tepuk Tangan Meriah]
sumber : marxists.org
Bacaan lain mengenal Tan Malaka

Ini adalah tulisan lawas saya sekitar 5 tahun yang lalu, sebuah tulisan yang tersimpan di flashdisk dan tak pernah dibaca kembali. Mungkin dan sangat mungkin ini tulisan yang sudah angus termakan usia, tulisan dengan analisa yang dangkal dari sang pembelajar yang malas belajar. Tulisan disaat belajar mendefinisikan ruang dan waktu meski dibuat sambil lalu. Tulisan yang hanya dibaca oleh beberapa kawan dan dengan komen “tersenyum-senyum sajah”. Saya tidak hendak mengedit tulisan ini dengan pandangan saya hari ini, karena bagi saya menulis seperti melukis apa yang sudah tertulis biarlah apa adanya dengan situasi alam pikiran, perasaan dan langkah pada zamannya. Saya sajikan tulisan ini di serbasejarah dalam rangka tahun baru 1 Muharam 1431 H dalam mengingat jejak belajar menulis sejak esde sampe sekarang. Moga pula tulisan ini ada mamfaatnya bagi yang mau membaca. MENULIS ADALAH MELUKIS, Lukisan ini buat saya tersenyum mengenang lima tahun lalu 

Benang Kusut Gerakan Dakwah di Indonesia

Dakwah dalam termonologi sejarah Islam adalah gerakan yang tertua, sejak Adam a.s diciptakan dan menerima amanah Ilahi menjadi Khalifah fil Ardhi, starting point gerakan dakwah mulai digerakan dan ditujukan kepada bani Adam. Misi pengembanan dakwah merupakan misi utama para nabi dan rosul. Nabi Muhammad SAW Rosul terakhir pilihan Allah telah berhasil menyempurnakan misi dakwah para Rosul sebelumnya, Islam sebagai Rahmatan Lil ‘Alamin menerobos dimensi kehidupan manusia secara individu maupun sosial untuk hanya menerima Allah Al-Kholiq yang diibadahi dengan menjadikan al-Qur’an dan Sunnah Rosululloh sebagai pedoman hidup manusia. Islam telah menembus batas-batas wilayah, budaya, adat istiadat untuk hanya menerima Syari’at Islam yang menyelamatkan hidup dan kehidupan dhohir bathin di dunia dan akherat.
Sejarah Dakwah Islam di Indonesia memberikan perubahan yang luar biasa bagi peradaban manusia Indonesia. Kiprah para wali – Wali Songo di tanah Indonesia yang berhasil mendirikan kekuasaan Islam di Jawa (Kerajaan Islam Demak), Sumatera (Kerajaan Samudera Pasai), Maluku, Ternate, Tidore dan lain-lain menjadi bukti adanya akar Ideologis dari setiap gerakan dakwah di masa lalu untuk terbagunnya sosio politik Islam. Kiprah gerakan dakwah tidak pernah berhenti oleh jaman dalam situasi dan kondisi apapun juga. Sejak Belanda datang untuk menjajah negeri ini sampai hengkang yang selanjutnya di ambil alih oleh Fasisme Jepang juga pada masa Revolusi Nasional, spirit yang menyala dari setiap pembela Allah dan Rosul-Nya terus terwariskan dari generasi ke generasi menggelora di dalam dada menjadi aksi tiada henti sampai Fatah dan Falah di dapatkan.
Beragam macam dan corak gerakan dakwah yang ada di Indonesia sampai saat ini menghasilkan apresiasi yang beragam. Disatu sisi macam dan corak dakwah membentuk suatu “pelangi” indah yang membawa kepada kemasyalahatan umat Islam, ada kegairahan dalam mengenal, memahami dan mengamalkan ajaran Islam. Umat Islam dibuat “melek” terhadap tawaran-tawaran dakwah yang dijalankan baik secara gerak organisasi maupun individu-individu aktifis dakwah. Dakwah menjadi “santapan” empuk yang mengisi lorong-lorong akal yang awalnya dangkal, relung-relung ruhani yang awalnya gersang dan gerak jasmani yang awalnya rigid – kaku untuk beramal. Dengan adanya ragam dan corak dakwah, manusia seakan diisi oleh sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk menjalani hidup dan kehidupan dunia secara hakiki.
Disisi yang lain macam dan corak dakwah membentuk “benang kusut” yang tiada ujung pangkal. Dakwah seyogyanya membuahkan yang “Hak” terlihat benarnya dan yang “Bathil” terbukti salahnya. Dakwah seyogyanya menghasilkan keseragaman pola pikir, pola sikap dan pola tindak umat Islam secara sinergis membentuk Ummatan Wahidathan. Tapi apa yang terjadi “benang kusut” gerakan dakwah berbuah kontra-produktif dari tujuan Allah SWT yang memerintahkan kepada Ummat Islam untuk tampil sebagai “Pelaku Dakwah”.
Akhirnya semakin lama “pelangi” yang indah di langit biru bersentuhan dengan “benang kusut” di padang gersang yang semerawut. Warna merah, jingga, kuning, hijau, biru, ungu dan abu-abu (Mejikuhibiniu) tak terlihat secara indah tetapi berubah menjadi samar dalam “bola kusut warna pelangi dakwah”. Dakwah yang menyerukan kebenaran bertempur dengan dakwah yang menyerukan kesesatan. Lalu siapa yang menjadi pemenang ????
Secara teoritik, Drs. H. Syukriadi Sambas M.Si., Dosen IAIN Sunan Gunung Jati membagi dakwah dalam katagori pelaku terdiri dari (a) Dakwah Allah, (b) Dakwah Nabi, (c) Dakwah Umat Nabi, (d) Dakwah Kafir dan (e) Dakwah Syaitan.
Dakwah Allah adalah dakwah ilahiyah yang bersifat tanajuli dengan pesan dakwah berupa shirath mustaqim dan tujuan dakwah adalah dar as-salam. Dakwah nabi dan rosul adalah membawa pesan informasi Ilahiyah kepada ummat manusia agar hanya beribadah kepada Allah SWT, dakwah umat nabi dan rosul menyampaikan pesan al-Islam sebagai ajaran Ilahi yang mengatur tata kehidupan umat manusia yang menjamin keselamatan hidup di dunia dan akherat. Sementara dakwah kafir dan dakwah syetan adalah segala macam bentuk ajakan untuk menyimpangkan manusia dari kewajiban melaksanakan Islam secara kaffah .
Problemnya adalah perseteruan dakwah umat nabi dan dakwah kafir atau dakwah syetan bisa menggunakan “al-Islam” sebagai pesan dan alat untuk mencapai maksud dan tujuan masing-masing. Orang-orang kafir dari kubu zionisme, komunisme ataupun salibisme yang merupakan musuh umat Islam sepanjang jaman, bisa “memanfaatkan” umat Islam untuk menghancurkan Islam itu sendiri dan konyolnya umat Islam “tertentu” dengan “santai” melaksanakan program-progam mereka sebagai sebuah kewajiban .
Indonesia sebagai bangsa dengan mayoritas umat Islam, adalah sasaran empuk dari zionisme, komunisme ataupun salibisme yang berselingkuh dengan Nasionalisme, Sukuisme dan Ashobiyyah-isme dalam melaksanakan proyek internasional untuk menghantam gerakan Islam, dan mencabut fikrah islamiyah dari tatanan kehidupan. Beragam bentuk dan pola mereka gunakan yang didukung oleh SDM dan dana yang sungguh luar biasa. Disinilah pertarungan sesungguhnya terjadi.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka” (Qs. Al-Baqarah :120)
“Akan datang di satu masa, dimana kalian dikerumuni dari berbagai arah, bagaikan segerombolan orang-orang yang rakus yang berkerumun berebut disekitar hidangan. Diantara para sahabat bertanya keheranan : “ Apakah karena diwaktu itu kita berjumlah sedikit, ya Rasululloh? Rasul menjawab : “Bukan, bahkan jumlah kalian waktu itu banyak. Akan tetapi kalian laksana buih terapung-apung. Pada waktu itu rasa takut di hati lawanmu telah dicabut oleh Allah, dan dalam jiwamu tertanam penyakit al-wahnu” Apa itu Alwahnu?” Tanya sahabat. Jawab Rosululloh : “cinta yang berlebih-lebihan terhadap dunia dan takut yang berlebih-lebihan terhadap mati”. (Hadist Rosululloh)

Sekilas Potret Gerakan-gerakan Dakwah di Indonesia

Gerakan Dakwah Inkar Sunnah
Muncul di Indonesia sekitar tahun 1980-an. Mereka menamakan pengajiannya dengan sebutan Kelompok Qur’ani (kelompok pengikut Al-Qur’an). Pengajian tersebut dipimpin oleh H. Abdurrahman yang ramai diselenggarakan dimana-mana di Jakarta. Salah satunya di Masjid Asy-Syifa RS Cipto Mangunkusumo yang menyatu dengan Fakultas Kedokteran UI.
Penyelidikan Hartono Ahmad Jaiz menyebutkan ada tokoh orang Indonesia yang mengeluarkan biaya yang cukup besar untuk pengajian tersebut, dia bernama Lukman Saad, orang Padang Panjang Sumatera Barat lulusan IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, bekerja sebagai direktur di sebuah perusahaan penerbitan. Dengan perusahaan penerbitannya itu Lukman Saad mencetak buku-buku yang berisi ajaran sesat Inkar Sunnah diantaranya karangan Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis.
Tokoh lain dari Inkar Sunnah adalah Marinus Taka. Hartono menyebutkan bahwa Marinus Taka adalah seorang keturunan indo-Jerman yang tinggal di daerah Depok Lama yang merupakan perkampungan Kristen khusus peranakan Belanda.
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia pada tanggal 16 Ramadhan 1403 H/ 27 Juni 1983 memutuskan bahwa Inkar Sunnah sebagai ajaran sesat karena tidak memepercayai hadist Nabi Muhammad SAW sebagai sumber hokum syari’at Islam. Selanjutnya Kajaksaan Agung RI pada tanggal 7 September 1985 memutuskan pelarangan buku karangan Nazwar Syamsu dan Dalimi Lubis untuk beredar di seluruh Indonesia.

Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII)

Lembaga ini didirikan oleh Mendiang Nurhasan Ubaidah Lubis, pada awalnya bernama Darul Hadist, pada tahun 1951. karena ajaranya meresahkan masyarakat Jawa Timur maka Darul Hadist dilarang oleh PAKEM (Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat). Darul Hadist berganti menjadi Islam Jama’ah dan di tahun 1971 Jaksa Agung RI melarang aliran sesat Islam Jama’ah ini. Karena dilarang diseluruh Indonesia, Nurhasan mencari taktik baru yaitu berlindung kepada Letjen Ali Moertopo (Wakil Kepala Bakin dan staf OPSUS Presiden Soeharto). Lalu Islam Jama’ah menyatakan diri masuk dalam GOLKAR dengan nama Lemkari (Lembaga Karyawan Dakwah Islam).
Lemkari selanjutnya dibekukan oleh Gubernur Jawa Timur Soelarso pada tahun 1988. Namun kemudian pada Musyawarah Besar Lemkari di Asrama Pondok Gede Jakarta, November 1990, Lemkari diganti nama menjadi LDII (Lembaga Dakwah Islam Indonesia) atas anjuran Mendagri Rudini agar tidak rancu dengan nama Lembaga Karatedo Republik Indonesia.
Sampai tahun 1972 Lemkari sudah mendirikan masjid 1500 buah di 19 Propinsi dan beberapa pondok pesantren besar lagi megah. Sekarang LDII sudah mempunyai Dewan Pimpinan Daerah (DPD) sebanyak 26 propinsi. (Kesesatan Ajaran Islam Jama’ah diantaranya kita bisa baca di buku Hartono Ahmad Jaiz : Aliran dan Paham Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, 2001).

Gerakan Syiah Di Indonesia 

Sejak tumbangnya Syah Reza Pahlevi yaitu meletusnya Revolusi Iran pada tahun 1979 yang dipimpin oleh tokoh spiritual Ayatullah Khomaeni sejak itu pula paham Syi’ah merembes ke berbagai Negara. Gema jihad melawan “kemungkaran” dari Iran lantas menembus hampir di seluruh dunia. Gerakan ini mendapat respons positif berupa terbentuknya solidaritas muslim dunia secara moral mendukung gerakan itu.
Beberapa lama kemudian di tahun 1980-an muncul kelompok-kelompok yang dinilai oleh beberapa pihak mengarah ke gerakan Syi’ah. Barangkali ini yang disebut Ekspor Revolusi yang begitu di khawatirkan.
Perkembangan Syi’ah atau yang mengatasnamakan madzhab Ahlul Bait di Indonesia memang cukup pesat. Sejumlah lembaga yang berbentuk pesantren maupun yayasan didirikan di beberapa kota di Indonesia, seperti Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur dan luar Jawa. Dan membanjirnya buku-buku tentang Syi’ah yang sengaja diterbitkan oleh para penerbit yang memang berindikasi Syi’ah atau lewat media massa, ceramah-ceramah agama dan lewat pendidikan dan pengkaderan di pesantren-pesantren, di majelis-majelis taklim.
Gerak mereka tidak seragam ada yang begitu agresif dalam mendakwahkan Syi’ahnya ada juga yang lebih lambat. Ada yang terasa demikian frontal ada juga yang terkesan amat sensitive. Namun demikian semuanya menuju kepada titik yang sama, Syi’ah. Besar sekali memang dana yang dibutuhkan untuk mempropagandakan dan memperkenalkan Syi’ah tujuannya adalah memperkenalkan Syi’ah di panggung politik Dunia (juga Indonesia) dan yang terpenting “mendesakan” kepada dunia Islam untuk mengakui keberadaan Syi’ah sebagai salah satu aliran yang sah di dunia Islam. Hasilnya, tanpa disadari kita yang beraqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah digiring untuk mengikuti dan mendukung kebathilan yang ada pada ajaran Syi’ah itu.
Untuk meng-counter perkembangan Syi’ah memang sangat susah, dikarenakan Syi’ah mempunyai ajaran yang bernama Taqiyah. Dengan konsep taqiyah mereka dengan mudah memutar balikan fakta untuk menutupi kesesatannya dan mengutarakan sesuatu yang tidak diyakininya. Orang-orang Syi’ah dalam mempertahankan konsep tersebut sering mengetengahkan sebuah riwayat yang dinisbahkan kepada Imam Abu Ja’far Ash-Shadiq as. berkata : “ Taqiyah adalah agamaku dan agama bapak-bapaku. Seseorang tidak dianggap beragama bila tidak bertaqiyah. (selajutnya tentang apa bagaimana Syi’ah bisa terbantu dengan membaca buku Kumpulan Makalah Seminar Nasional Tentang Syi’ah : Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, Jakarta, 2002).

Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam

Titik tolak pembaharuan pemikiran Islam masa Orde Baru, bermula dari pidato Nurcholish Madjid di awal tahun 1970. M. Dawam Rahardjo memberikan keterangan, tak sedikitpun Cak Nur – berniat bikin heboh. Bahkan ceramahnya itu hanya “kebetulan” saja: ia menggantikan Dr. Alfian. Dan Cak Nur tidak menyangka, bahwa pemikirannya akan sejauh itu dampaknya. Pemikirannya yang terkenal dengan slogan “Islam Yes. Partai Islam No”. sebuah seruan deislamisasi partai politik, melalui program yang disebut “sekulerisasi”.
Agaknya, situasi politiklah yang melatar-belakangi berbagai reaksi yang muncul. Waktu itu, masih diperjuangkan rehabilitasi Masyumi, disamping yang lainnya seperti PSI dan Murba. Dan posisi HMI (tempat Cak Nur saat itu berada- Ketua HMI), sebagai salah satu pendukung Sekretariat Bersama Golongan Karya (Golkar), menjadi krusial menjelang Pemilu. Kecenderungan pimpinan HMI pada waktu itu mengambil sikap independen, tidak hanya kepada partai-partai Islam, tetapi juga terhadap semua partai. Dan orang melihat sikap HMI itu sangat menguntungkan Golkar. Karena itulah, maka ceramah Cak Nur tersebut menjadi sangat politis .
Apakah karena kebetulan seaspirasi dengan Cak Nur tentang : “Islam Yes, Partai Islam No”. ataukah pengaruh pemikiran Cak Nur dan kawan-kawan yang jelas pemerintah Orde Baru melakukan “deideologi” partai Islam, dan kemudian diganti dengan Pancasila sebagai satu-satunya asas seluruh orsospol .
Budhi Munawar-Rachman menjelaskan bahwa ada tiga kelompok besar pemikir neo-modernis Islam di Indonesia yaitu (1). Islam Rasional dengan tokohnya Harun Nasution dan Djohan Effendi dengan membawa pandangan-pandangan Mu’tazilah (2) Islam Peradaban yang diantara tokohnya Cak Nur dan Kuntowijoyo dan (3) Islam Transformatif dengan tokohnya Adi Sasono, M. Dawam Rahadjo.
Gerak pembaharuan pemikiran Islam pada tahun 1970-an dilaksanakan oleh pemikir-pemikir individual yaitu pemikir yang tidak terlalu terikat oleh organisasi seperti NU, Muhammadiyah, SI dan lainnya. Dahulu ketika melempar isu pembaharuan islam pada tahun 1970-an, Cak Nur relatif single fighter, tetapi sepuluh atau duapuluh tahun kemudian- pada decade 1980-an apalagi 1990-an- Cak Nur sudah tidak lagi sendirian.
Gagasan-gagasan Cak Nur dan kawan-kawan di rentang akhir tahun 1980-an dan sepanjang tahun 1990-an banyak dipublikasikan dalam buku-buku yang diterbitkan secara luas diantaranya oleh Mizan, Jurnal Ulumul Qur’an dan Islamika juga Paramadina sendiri. Buah Pemikiran Cak Nur dan sahabat-sahabatnya banyak menimbulkan kontroversi di kalangan umat Islam, diantara yang menghangat adalah perseteruan konsep-konsep pemikiran Islam melalui tulisan antara Ulumul Qur’an dengan Media Dakwah yang diterbitkan oleh Dewan Dakwah Islamiyah. Turut andil pula lembaga-lembaga kajian yang menghasilkan kader-kader muda lewat Paramadina (diantaranya).
Di tahun 2000-an pemikiran Islam diramaikan oleh kader muda Islam diantaranya Ulil Absar ‘Abdala sebagai “Cak Nur Muda” yang menggagas Islam Liberal. Model pemikiran Islam Liberal-nya Ulil tidak jauh berbeda dengan pembinanya Nurcholis Madjid.

Urban Sufism 

Ada fenomena baru khususnya dimulai sekitar akhir tahun 1990-an, yaitu adanya beberapa tempat pengajian yang ramai dikunjungi umat Islam, seperti kajian spriritual yang diselenggarakan oleh Tazkya Sejati (pusat kajian tasawuf yang dipimpin oleh Dr. Jalaludin Rakhmat), IIMaN (pusat pengembangan tasawuf positif yang didirikan oleh Haidar Bagir), Paramadina (yayasan yang menekuni pengkajian persoalan Islam, termasuk tasawuf, yang dipimpin oleh Dr. Murcholish Madjid) dan kegiatan ceramah Manajemen Qoblu (MQ) yang dilakukan oleh KH. Abdullah Gymnastiar.
Anggota dari lembaga-lembaga tersebut adalah mereka yang sering disebut sebagai “sufi” perkotaan (Urban Sufism). Ekspresi spiritual yang ditampilkan oleh “sufi-sufi” kota ini berbeda dengan sufi-sufi konvensional (ortodoks). “sufi” baru itu bukanlah orang yang “ngegembel” yang kehidupan sehari-harinya hanya diisi dengan beribadah dan mengasingkan diri. Justru sebaliknya “sufi” kota ini berasal dari strata sosial kelas menengah dan atas (meski kelas bawah juga turut mengikutinya) dan kalangan professional di berbagai bidang yang sangat rasional.
Dr. Komaruddin Hidayat mengsinyalir adanya lima kecenderungan masyarakat kota terhadap Sufism yaitu :
  1. Adanya upaya pencarian makna hidup searching for meaningful life.
  2. Untuk sekedar perdebatan intelektual dan peningkatan wawasan intellectual exercise and enrichment.
  3. Menjadikan aspek spiritualitas sebagai katarsis atau obat dan problem psikologis pshyicological escape.
  4. Sarana mengikuti trend dan perkembangan wacana religious justification.
  5. Sikap “mengekploitasi” agama untuk kepentingan dan keuntungan ekonomi Economic Interest.
Point 5, adanya economic interest, yang menurut Yudi Latief diistilahkan sebagai ”komersialisasi pengalaman religius” ditemukan dilingkungan kita saat ini. Berkembangnya pengikut latihan-latihan “Riyadhah” Sufism yang berorientasi instan kesalehan, larisnya para pedagang spiritual (religious intrepreneurs) yang menjajakan “do’a-do’a” penenang (mulai dari “do’a politik”, “do’a kesembuhan penyakit” sampai “do’a sukses capres” dll), serta digandrunginya bintang-bintang “budaya pop” dan kiyai “ngepop” sebagai penceramah agama merupakan sesuatu yang kongkret dari bentuk konsumerisasi pengalaman-pengalaman spiritual .

Geliat Dakwah Lulusan Timur Tengah

“Mungkin” dikarenakan peran Menteri Agama Prof. Dr. H. Abdul Mukti Ali (1971-1978) banyak mahasiswa Islam Indonesia merasakan belajar di luar negeri dengan beasiswa dari pemerintah Orde Baru. Sebagian dari mereka memilih sekolah di negeri paman Sam untuk mengambil S-2 atau S-3 produknya Cak Nur Cs, sebagian lagi memilih sekolah di Timur Tengah dan produknya Ustadz-ustadz Pulan Lc. Yang memilih Timur Tengah rata-rata lulusan Aliyah (setingkat SMA) atau yang memiliki backgraund pesantren atau lulusan IAIN (pra syarat pokok adalah kemampuan Bahasa Arab).
Pengiriman pelajar ke Timur Tengah sebenarnya sudah mulai saat M. Natsir menjadi Perdana Menteri pertama RI 1950-an dengan mengeluarkan rekomendasi pada sejumlah mahasiswa untuk belajar ke luar negeri khususnya di Timur Tengah, pelajar pertama Indonesia yaitu Hasan Langgulung alumnus pertama Pesantren Persis Bangil untuk belajar di Universitas Al-Azhar.
Diantara universitas di Timur Tengah yang dijadikan tempat belajar oleh mahasiswa Indonesia adalah : (1) Universitas Islam al-Madinah Al-Munawarrah, Arab Saudi, (2) Universitas Ibnu Saud, Riyadh, Arab Saudi dan (3) Universitas Al-Azhar, Kairo Mesir.
Prof.Dr. Azyumardi Azra mengutip hasil penelitian Mona Abaza tentang mahasiswa Indonesia di Timur Tengah khususnya di Al-Azhar. Menurutnya mahasiswa Indonesia di Timur Tengah terbagi pada dua kelompok secara umum yaitu mahasiswa sebelum tahun 1970-an yang cenderung memiliki pemikiran “Islam Liberal” seperti Hassan Hanafi atau Zaki Najib Mahmud dan mahasiswa setelah tahun 1970-an pemikirannya bernada “Islam Fundamentalis”. Keadaan ini sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi Timur Tengah itu sendiri dari semangat liberalisme berubah kepada arus fundamentalisme .
Annis Matta Lc (salah seorang lulusan Timur Tengah), menyatakan bahwa semangat pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimun telah merasuk di perguruan tinggi-perguruan tinggi di Saudi Arabia sejak tahun 1980-an, perpustakan untuk pemikiran Islam semuanya diisi oleh buku-buku yang dikarang para tokoh IM, maka menurutnya secara otomatis pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin terbawa oleh para mahasiswa yang belajar disana .
Sepulangnya belajar di luar negeri, bila lulusan Barat (AS) membawa “oleh-oleh” Islam Ilmiah (Pembaharuan Pemikiran Islam) sedangkan lulusan Timur Tengah membawa “oleh-oleh” Islam Harakah (Islam pergerakan-khususnya Al-Ikhwanul Al-Muslimun).
Tercatat beberapa nama diantaranya Ustadz Abu Ridha Lc, Ustadz Rahmat Abdullah Lc, Ustadz Hilmi Lc., Ustadz Saeful Islam Mubaraq Lc., dll, yang getol mendakwahkan pemikiran-pemikiran Al-Ikhwanul Al-Muslimin dengan membentuk gerakan dakwah Tarbiyah.
Geliat dakwah lulusan Timur Tengah ini mendapat respon luar biasa di kampus-kampus seperti UI, IKIP Jakarta, IKIP Bandung, UNPAD, UGM , dll di antara tahun 1980-1998 yang kemudian bermetamorfosis menjadi PK selanjutnya PKS (lihat selanjutnya PKS sebuah Fenomena)

Bintang Vs Kohesivitas

Ada “drama” yang enigmatic dalam sepak bola Piala Eropa 2004. Semula, siapa yang menyangka tim-tim besar dengan nama besar seperti Jerman, Italia, atau Spanyol tersingkir di babak pertama. Siapa pula yang menyangka Republik Ceko bakal membuat prestasi yang mengagumkan dengan menjuarai Grup D dan menjadi satu-satunya tim peraih nilai sempurna (9), setelah mengalahkan Latvia 2-1, menghantam “tim Oranye” Belanda 3-2, dan menyingkirkan “Panser” Jerman 2-1. Pecinta bola bundar dibuat terkaget-kaget manakala Inggris dengan segudang “Bintang” dikalahkan tragis oleh Portugal dan Prancis yang “di-raja-i” Zanadine Zidane dibuat “menangis” oleh “Dewa” Yunani 0-1. Piala Eropa 2004 telah memberikan “Ibrah”-pelajaran dimana taburan “bintang” bisa dikalahkan oleh kemampuan tim yang memiliki “kolektivitas” dan “kohesivitas” dalam bertanding.
Tuntas sudah episode “Piala Eropa 2004” dan pemenangnya adalah …… tidak hendak menganalisis sepak bola lebih detail, kita “lompat” kembali pada keadaan gerakan dakwah kontemporer di Indonesia. Banyak “bintang” lapangan dakwah bertengger di podium mimbar, secara linier “audien” mendengarkan, ketika “bintang” lapang bergerak secara linier “audien” mengikuti, ketika “bintang” lapang melompat ke politik partai, secara linier pula “audien” larut dan terjun dalam pesta kampanye dengan mengibarkan bendera-nya.
Meminjam istilah Yudi latif tentang pola komunikasi yang bersifat linier-vertikal (satu arah), dimana para dai berbicara — hadirin mendengarkan, dai berpikir —– hadirin dipikirkan, dai memilih —- hadirin menuruti, dai mengatur —- hadirin manut, dan sebagainya. Agaknya memang demikianlah fenomena gerakan dakwah sekarang ini. Tak heran jika forum dakwah seringkali tak mampu mengembangkan minat-minat yang eksploratif serta kreativitas berpikir kritis. Forum dakwah tidak menorehkan hasil sumber daya yang mampu mengembangkan potensinya agar lebih “dinamis” dan “kreatif” pada tataran akal-intelektual, sikap dan amal, tanpa meninggalkan kedisiplinan dalam berjuang.
Adanya “bintang” dalam lapangan dakwah mungkin sebuah kebutuhan yang patut ada dalam gerakan dakwah tetapi “kolektivitas” dan “kohesivitas” gerakan dakwah bakal lebih mampu mendorong pada transformasi cultural maupun structural yang dikehendaki.

Berdakwah dengan Kesalehan Diri dan Sosial

Dalam sebuah iklan lotion pemutih seorang laki-laki dengan tatapan terpana memandang perempuan yang energik dan terlontar secara tanpa sadar ucapan: ”bersihhh…putihhh…” . Entah latah atau mengikuti trend atau memang sepantasnya demikian, yang jelas kata “putih” dan “bersih” menjadi barang dagangan yang laku keras baik secara ekonomi “material” maupun secara psikologis “immaterial”.
Tengoklah sejenak dalam panggung politik pasca reformasi, kata “putih” dan “bersih” menjadi barang dagangan yang laku dijual mengalahkan kata “busuk” dan “hitam”. Para caleg menolak dikatakan “Politisi busuk”, para capres dan cawapres menyanggah “kampanye hitam”. Semua menunjukan dirinya “putih” dan “bersih”.
“Dagangan” dalam dakwah memang beragam, tetapi trend dakwah di akhir tahun 1990-an sampai sekarang menunjukan tanda-tanda yang sama dengan “menjual” kesalehan diri dan kesalehan sosial. Sosok K.H. Abdullah Gymnastiar (AA Gym) adalah fenomena yang mengedepankan “kesalehan diri” sebagai daya tarik ”market dakwah”, masyarakat dibuat terpesona dan tanpa sadar mengucapkan : “bersihhh….putihhhh” sampai-sampai kalangan selebritis menempatkan AA Gym sebagai laki-laki ”metroseksual” pada urutan teratas.
Kesolehan sosial ditunjukan pula oleh beberapa gerakan dakwah semisal Tarbiyah (PKS) yang terlihat pada setiap event local maupun nasional dalam demontrasi maupun kampanye melakukan “show” dengan lautan “jilbab putih dan bersih”. Kelompok dakwah ini mudah dikenali dari sudut penampilan personal. Para Akhwat terlihat dari jilbab yang panjang dan para Ikhwan-nya terlihat pakaian yang umumnya menggunakan stelan “koko”, berjanggut tipis dan berparas “bersih”. Trend baru para aktifis dakwah ini telah mewarnai lingkungan masyarakat dakwah terkhusus masyarakat kampus.
Akankah pola menjual “kucing dalam karung” masih menghiasi setiap aspek kehidupan bermasyarakat dan bernegara ini termasuk dalam dakwah. Dahulu “karung-nya” “hitam” dan “bau busuk” tapi sekarang “karung-nya” “putih” dan “bersih” tetapi sama-sama saja yang dijual tetap “KUCING”. (entah kucing “mesir” atau “Persia”) Agaknya kita harus lebih cerdas.
Ada pendapat yang sebenarnya kontroversial tetapi patut direnungkan, datang dari Ted Peters, pengarang buku Fear, Faith, and The Future , “ krisis akan mencuat ke pergumulan histories saat peradaban kita benar-benar memasuki era pasca Industri. Saat itu keasyikan kita untuk mengkonsumsi sejumlah barang dan jasa akan amat memungkinkan pengkomoditian agama (comoditized religion). Agama tidak lebih sebagai komoditas yang siap diperjualbelikan di pasar komersial, ide-ide yang kadang-kadang membungkus ambisi-ambisi manusia, seperti saat mereka mendirikan tempat-tempat perbelanjaan dimana setiap orang bebas memilih apa yang menjadi obsesi dan selera sesaat”. Lebih lanjut Ted Peters menyebutkan, “ religi media massa kini mungkin menjadi sinyal religi konsumeris esok hari” .

“Jamaah” Islam Liberal

Ketika Cak Nur sudah menjelang uzur, ketika Gus Dur sudah banyak “mendengkur” meski kedua-duanya masih pandai “bertutur”. maka awal tahun 2000-an seakan tak pernah henti-henti “Islam Nyeleneh” kembali ber-reinkarnasi pada generasi “milennium” yaitu Ulil Abshar Cs, daur ulang pemikiran Islam Cak Nur cs berbuah “Jamaah” Islam Liberal.
Sejak kelahirannya pada tahun 1999, “jamaah” Islam Liberal bertujuan untuk menjadi counter terhadap gerakan Islam garis keras yang sering terjun ke lapangan untuk menjadi motor terdepan dalam ‘amar ma’ruf nahy al-munkar seperti FPI, Laskar Jihad, Majelis Mujahidin dan lain-lain. Pada bulan Maret 2002, mereka resmi mendirikan Jaringan Islam Liberal (JIL) dengan tokoh sentralnya adalah “Intelektual Muda NU” Ulil Abshar Abdalla. Tujuan pokok “Jamaah” ini adalah pertama, untuk mengimbangi wacana pemikiran Islam garis keras yang banyak muncul terutama soal pelaksanaan syari’at Islam. Kedua, ingin memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk melihat masalah penerapan syari’at dalam perspektif yang lebih beragam.
Menurut Ulil ada tiga misi yang diemban “Jamaah” Islam Liberal yaitu :
  • Pertama,mengembangkan penafsiran Islam yang liberal sesuai dengan prinsip-prinsip yang mereka anut, serta menyebarkannya kepada seluas mungkin khalayak.
  • Kedua, mengusahakan terbukanya ruang dialog yang bebas dari konservatisme. Mereka yakin, terbukanya ruang dialog akan memekarkan pemikiran dan gerakan Islam yang “sehat”.
  • Ketiga, mengupayakan terciptanya struktur sosial dan politik yang adil dan manusiawi.
Selanjutnya Ulil menyebutkan ada tiga kaidah yang hendak dilakukan oleh JIL yaitu : pertama, membuka ruang diskusi, meningkatkan daya kritis masyarakat dan memberikan alternatif pandangan yang berbeda. Kedua, ingin merangsang penerbitan buku yang bagus dan yang berbeda. Ketiga, dalam jangka panjang ingin membangunsemacam lembaga pendidikan yang sesuai dengan visi JIL mengenai Islam. Layaknya sebagai “Jamaah”, JIL membuat kegiatan-kegiatan halaqah, diskusi, seminar, talk show dan lain-lain.
Secara terang-terangan Ulil mengakui bahwa pandangan yang dianutnya adalah pandangan Mu’tazilah meskipun dia mengelak menolak wahyu, bagi dia wahyu “berguna” dalam memperkaya wawasan akal manusia karena setiap wahyu membawa suatu wawasan tertentu mengenai “yang baik” dan “yang jahat”.
Jamaah Islam Liberal yang dihuni umumnya oleh anak muda NU mendapatkan keuntungan karena 1). berlindung dibawah “payung” Gus Dur (“nabinya” anak muda NU) 2). bersahabat dengan para Indonesianis (misionaris Barat- Neo Snouck Hurgroje) yang berjasa dalam membentuk pemikiran anak muda NU yang ndeso (anak kampung) yang menjadi santri kota seperti Herbert Feith, R.William Liddle, Sidney Jones, Greg Barton dll yang datang ke Indonesia untuk “mencekok” pemikiran orientalis Islam. 3). “akrab” dengan pemikiran Islam kontemporer Timur Tengah terutama pandangan Mu’tazilah yang dibawa ke Indonesia oleh Harun Nasution cs. Sehingga 3 faktor keuntungan itu akan sangat mudah mendapatkan berbagai fasilitas dari funding internasional sehingga dengan leluasa melaksanakan programnya dengan tidak pakai modal sendiri .
Agaknya memang “Jamaah” Islam Liberal ingin “meloncat” dari tradisi NU dan tradisi kebanyakan umat Islam di Indonesia yaitu “trilogi” Ahlussunnah Wal al-Jamaah (Syari’at pola Mazhab Syafii, Teologi Pola al-Asy’ari dan berakhlaq pola al-Ghazali) sehingga jamaah yang dipimpin Ulil ini mendapat reaksi keras dari sebagian umat Islam Indonesia. Bagi negara dengan adanya kelompok muda JIL seolah mendapat tenaga bantuan untuk “bahu-membahu” menghadapi kelompok Islam Fundamentalis, yang gencar mengsosialisasikan isu-isu formalistic, seperti Negara Islam dan Syari’at Islam .
Buku : Madu dan atau Racun
Buku adalah “gudang ilmu” suatu idiom yang tidak bisa disangkal akan keberadaan buku. Layaknya sebagai “gudang ilmu” tentu beragam ilmu disuguhkan dalam mungkin telah jutaan atau milyaran jenis buku. Bila idiom itu kita persempit kepada buku-buku Islam maka disitulah adanya “gudang ilmu Islam”, beragam kajian tentang Islam tampak menghiasi sampul-sampul buku yang menarik peminatnya untuk membaca.
Mulai tahun 1990-an (-penghujung tahun 1980-an) aliran deras buku-buku Islam menghiasi etalase-etalase “Gramedia” “Gunung Agung” “Palasari” sampai “Wagino” di pinggir trotoar masjid salman. “Buku Islam Laku Keras” tulisan Suara Hidayatullah pada edisi khusus Mei 2001, penerbit-penerbit Islam yang mempunyai kontribusi besar bagi dakwah diantaranya Gema Insani Press (GIP) Toha Putra, Pustaka Rizki Putra, Darul Falah, Pustaka Progresif, DES, Pustaka Azzam, Al-Izzah, Al-Qowwam, Pustaka Bandung, CV. Bulan Bintang, Asy-Syamil Press, Dipenogoro, Robbani Press, Media Dakwah, Pustaka Misykat, dll yang membidik tema-tema dakwah. Diluar itu ada penerbit yang menekankan pada khazanah pemikiran Islam seperti Mizan, yang getol menerbitkan kajian tasawuf seperti Pustaka Hidayah tak ketinggalan MQ Press yang secara ekslusif mencetak “tulisan-tulisan” AA Gym.
Beragamnya tema-tema buku Islam bisa merepresentasiakan khalayak masyarakat pembacanya, juga secara sederhana buku adalah dai bagi ”audien/mad’u pembaca”. Buku menjadi salah-satu faktor yang menghantarkan pada keberhasilan dakwah dalam beragam corak dan warna dakwah, selebihnya buku adalah salah satu bentuk economic interest atau “eksploitasi” agama untuk kepentingan ekonomi.
Apapun motif-nya, masyarakat pembaca telah “dimanjakan” dengan sajian-sajian pandangan pemikiran Islam yang tidak di peroleh dari podium-podium mimbar ceramahan, buku-buku memberikan kedalaman ilmu agama yang tidak ditemukan pada pengajian rutinan, hebatnya buku lebih banyak memperlihatkan sebagai “madu” daripada “racun”.
Buku apakah “madu” atau “racun” agaknya kembali kita dituntut untuk cerdas, siapa yang menyangka kebusukan zionisme yang berkantung tebal, “menyamar” menjadi buku yang bersampul “manis”.
Dunia Maya : berselancar di “situs” Islam
Sudah menjadi rahasia umum, selama ini internet dibanjiri oleh situs-situs maksiat, seperti situs judi dan situs porno, shingga kerap muncul apriori di kalangan Muslimin terhadap teknologi informasi ini.
Untung tidak semua bersikap demikian, ada yang lebih “bijak” dengan tidak menjauhi, tetapi justru mengisinya dengan risalah amar ma’ruf nahi munkar, sehingga kemudian lahir situs-situs Islam yang sengaja mewarnai dunia internet dengan sajian-sajian da’wahnya, dalam berbagai bahasa dan warna.
Beberapa tahun belakangan situs dakwah berbahasa Indonesia sudah bertengger di dunia maya. Kebanyakan dirilis oleh ormas Islam yang sudah dikenal dan lembaga-lembaga dakwah yang terkenal seperti www.Muhammadiyah.or.id, www.kisdi.com, www.hidayatullah.org. sejumlah harakah dakwah yang berafiliasi ke Timur Tengah, seperti Hizbut Tahrir, juga tak ketinggalan kiprahnya dengan situs www.alislam.or.id. Banyak kajian yang ditampilan dalam situs-situs Islam antara lain kajian Islam, Konsultasi, Tokoh Islam, Sejarah Islam dll. Sejak wabah portal di dunia maya beberapa tahun silam, muncul pula situs-situs yang mengklaim sebagai portal islam, yakni ww.sajadah.net, dan www.myquran.com. Masih banyak lagi situs-situs Islam yang menawarkan informasi yang beragam tentang Islam masing-masing punya keunikan tersendiri.

Kampus sebagai Muara dan Mata Air Gerakan Dakwah

Gerakan dakwah yang berkembang di Indonesia pada rentang waktu 1980-an sampai 1990-an tidak terlepas dari keadaan sosio politik dan gerak dakwah di tahun 1970-an. Seorang orientalis G.H. Jansen pernah mengatakan bahwa “Islam di Indonesia berkembang pesat salah satunya melalui masjid kampus”.
Ada anomaly dalam gerakan dakwah kampus. Pertama gerakan dakwah ini ibarat sungai-sungai yang terus mengalir sepanjang sejarah perjalanan bangsa Indonesia, ada sungai-sungai besar, ada sungai kecil ada pula selokan-selokan dengan beragam keadaan airnya, ada yang jernih, kuning ada pula air kotor. Semua sungai besar dan kecil akhirnya sampai pada satu muara dan kampus adalah salah satu Muara yang paling “eksis” dan “refresentatif” dari seluruh “benang kusut” gerakan dakwah.
Kedua gerakan dakwah kampus juga sebagai salah satu mata air yang mengalirkan “ruh” dakwah ke sungai-sungai yang melintas diantara kultur sosial masyarakat sekitarnya. Dakwah kampus seolah memberikan energi bagi kegairahan hidup beragama di tengah padang masyarakat yang semula gersang. Kampus menjadi fenomena tersendiri sebagai sebuah mesin peradaban yang mendorong roda-roda sosio politik ke arah perubahan, meskipun perubahan-perubahan sendiri masih tampak samar antara apakah perbaikan menuju kebaikan atau pergantian antar kejelekan “a” ke kejelekan “b”.
Kalau Indonesia terkenal dengan tanah yang subur – tongkat dan kayu jadi tanaman, maka kampus Indonesia menjadi lahan yang subur bagi segala macam pemahaman dan pemikiran.

Kampus dan Eksperimentasi Gerakan Dakwah

Dunia kampus adalah dunia pengetahuan, wawasan, pemikiran juga peradaban dunia kaum intelektual yang menjadi harapan masa depan bangsa. Kampus diisi oleh kelompok masyarakat menengah ke atas yang orientasi kebutuhan bukan pada masalah lutut dan perut tetapi kebutuhan isi kepala sehingga idealisme setidaknya bakal bisa tumbuh subur dilahan kampus.
Dunia kampus bisa menjadi pusat “perdagangan” peradaban. Pemikiran Barat dan Timur, Lokal dan International, Tradisional dan Modern semua bisa laku terjual di konsumsi dengan berbagai motivasi. Jika ada yang menyatakan ideologi tidak pernah mati, maka layaklah kita menyebutkan bahwa kampus tempat hidupnya ideologi komunis, islam dan nasionalis bahkan asosiasi diantara ketiganya. Kampus bisa menjadi laboratorium dari beragam eksperimentasi gerakan termasuk gerakan dakwah.

DDII Sebagai Katalisator Dakwah Kampus

Tak bisa dipungkiri geliat dakwah di kampus di awal tahun 1980-an tidak terlepas dari peran andil yang besar dari Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) . DDII memiliki agenda khusus untuk melakukan pembinaan masjid kampus di seluruh Indonesia. Masjid kampus diyakini sebagai wadah komunitas mahasiswa Islam yang dapat memadukan antara sains modern dengan nilai-nilai Islam. Pada tahun 1974 DDII meluncurkan program yang disebut dengan Bina Masjid Kampus, yang dirintis dengan mengkader penggerak dakwah oleh PHI (Panitia Haji Indonesia) dengan instrukturnya antara lain : M. Natsir, K.H. E.Z. Muttaqien, Dr. Rasyidi, Osman Raliby, Zainal Abidin Ahmad dll. Alumni PHI yang pertama diantaranya Bang Imad, A.M.Lutfi, Endang Saefudin Anshari (Alm), Ahmad Noe’man dll. Dari alumni PHI pertama selanjutnya menyelenggarakan kegiatan training yang sama di masjid kampus seluruh Indonesia.
Mengingat luasnya wilayah yang akan dijangkau oleh program ini, maka Bina Masjid Kampus ini menerapkan model koordinator wilayah. Artinya pada setiap wilayah ditunjuk orang-orang yang memiliki kapabilitas dan integritas untuk menjadi pusat informasi sekaligus sebagai penggerak dakwah. Adapun wilayah yang terbentuk diantaranya Yogyakarta dikoordinasi oleh M. Amien Rais, Kuntowijoyo, M.Mahyuddin; Bandung (Ahmad Sadili, Rudy Syarif Sumadilaga, Yusuf Amir Faisal); Jakarta (M.Daud Ali, Nurhay Abdurrahman), Ujung pandang/Makasar (Halidzi, Abdurahman Basala); Semarang (Kafiz Anwar cs). Dan wilayah Bogor ditunjuk A.M. Saefudin, Abdul Qadir Jaelani. Para koordinator wilayah yang menjadi penggerak dakwah ini umumnya adalah para dosen yang mengajar di kampus-kampus yang menjadi basis dakwah seperti UGM Yogyakarta, IKIP dan ITB Bandung, UI dan IKIP Jakarta, IPB Bogor, Universitas Hasanudin Makasar.
Pada tahun 1985, Dewan Dakwah membuat master plan pembangunan umat. Hai ini mengingat bahwa Ali Moertopo membuat sebuah master plan pembangunan bangsa. Master plan yang dibuat oleh Dewan Dakwah ini dirumuskan oleh tim dari alumni PHI yang tersebar di berbagai wilayah seperti Yogya (Amien, Kunto, Yahya Muhaimin, M.Mahyudin); Bandung (Yusuf Amier Faisal, Endang Saefudin Anshari); Jakarta (Ir. A.M. Lutfi, M.Nursal, Husein Umar). Yang tidak diikutkan dalam tim perumus adalah A.M. Saefudin (Bogor) dan Bang Imad (Bandung) karena terlalu “terbuka” dalam berdakwah.
Master Plan itu kemudian dikenal Khittah Dakwah Islam Indonesia. Yang diantara ini mukadimahnya disampaikan bahwa dakwah pada hakikatnya adalah usaha sadar untuk mengubah seseorang, sekelompok orang, atau suatu masyarakat, menuju keadaan yang lebih baik sesuai dengan peraturan Allah dan tuntunan Rasul-Nya.

LMD, BKPMI dan Usrah ; Nuansa Dakwah Lokal

Program yang paling dikenal oleh para Mahasiswa di seluruh Indonesia dari Bina Masjid Kampus adalah LMD (Latihan Mujahid Dakwah) sejak tahun 1974 yang dipimpin oleh M. Imaduddin Abdurrahim – Bang ‘Imad, Sebuah pelatihan keisalaman yang dilaksanakan selama 3-5 hari yang bermula di laksanakan di Masjid Salman ITB selanjutnya menyebar ke setiap kampus di Indonesia. LMD bertujuan untuk mencetak kader-kader yang siap terjun dalam dakwah yang saat itu dikenal dengan “Islamisasi Kampus”.
Dr.Ir. Hermawan K.Dipojopo.M.Sc.EE (Ketua Umum Badan Pelaksana Yayasan SALMAN) mengungkapkan pengalamannya masa mahasiswa ketika mengikuti LMD ketiga yang sebagian besar ditangani oleh Bang ‘Imad beserta Drs. Miftah Faridl (sekarang K.H. Dr. Miftah Faridl) : “ Hari pertama, yaitu acara pembukaan, saya terhenyak dengan pernyataan Bang ‘Imad, “ Nasi yang saudara makan itu berasal dari infaq dan sedekah umat, dan saudara akan mempertanggungjawabkannya di akherat nanti. Oleh karena itu, jika Saudara tidak sanggup, lebih baik segera mengundurkan diri saja secepatnya dari kegiatan ini”. Kegiatan ini berlangsung lima hari dan diakhir acara setiap peserta dibaiat untuk taat kepada Allah SWT dan Rosul-Nya serta berjanji untuk senantiasa berusaha menegakan nilai-nilai ajaran Islam. Bagi mereka yang tidak bersedia dibaiat, dipersilahkan mengundurkan diri . Agaknya pengalaman Bapak Dipo memberikan gambaran bagaimana kuatnya sikap militansi Islam yang ditanamkan Bang ‘Imad terhadap para mahasiswa peserta LMD yang dampaknya masih membekas pada setiap alumni LMD khususnya yang masih komitmen terhadap perjuangan Islam.
Selain LMD yang dipimpin oleh Bang Imad, pada tahun 1976 di Bandung juga di dirikan sebuah organisasi yang dinamai Badan Komunikasi Pemuda Masjid Indonesia (BKPMI) oleh Toto Tasmara bersama K.H. E.Z. Muttaqien dan Toto Tasmara terpilih sebagai ketua umumnya. Di tahun 1983 BKPMI mengsosialisasikan system pembinaan usrah selain di Bandung juga di Surabaya dan Yogyakarta. Dalam perkembangannya metode usrah sangat diminati oleh para aktivis pemuda Islam. BKPMI cabang Yogyakarta bahkan lebih intensif dalam melakukan usrah hingga akhirnya keluar dari rel organisatoris BKPMI. Bahkan sudah ditambahi bai’at sehingga menjadi sangat eksklusif. Adapun kelompok lain yang menggunakan system usrah adalah kelompoknya Irfan S. Awwas yang berkembang di tahun 1980-an di Jawa Tengah. Selanjutnya kelompok usrah dicurigai oleh pihak keamanan terutama intelejen karena disinyalir mempunyai motif politik yaitu akan mendirikan negara Islam , yang selanjutnya pihak keamanan bertindak refresive dengan menangkap para aktivis yang tersangkut pengajian usrah baik di Bandung, Yogyakarta dan kota-kota di Jawa Tengah.
PKS SEBUAH FENOMENA (Eksperimen “Metamorfosis” Dakwah Kampus ke Dakwah Negara
PKS adalah salah satu realitas perjalanan bangsa Indonesia umumnya, Umat Islam Khususnya dan bil khusus aktivis muda Islam yang harus diketahui asal usulnya supaya kita bisa obyektif memahami dan menilainya.
Kehadiran PKS dalam kancah politik Indonesia cukup menghentakan banyak kalangan di Indonesia maupun luar negeri, beragam tanggapan para pujangga politik ( nama lain pengamat politik) atas keberhasilan PKS masuk pada 10 besar yang mengisi kursi-kursi empuk senayan maka layaklah PKS menjadi salah satu kejadian FENOMENAL TAHUN 2004 untuk katagori Selebritis Politik selain INUL untuk Katagori Selebritis Dangdut.

Dari Mana Metamorfosis PKS berawal?

Ustadz Anis Matta Lc (Sekjen PKS) memberikan rujukan bahwa dalam diri PKS mengalir “ruh perjuangan” Al-Ikhwanul Muslimim (IM) dalam dua dimensi yaitu IM sebagai inspirator ideologis dan IM sebagai Inspirator histories. Lalu bagaimana kita memahaminya? Secara sederhana kami sedikit terbantu dengan sebuah buku yang hadir pada bulan Mei 2004 : PARTAI KEADILAN SEJAHTERA : Ideologi dan Praksis Politik Kaum Muda Muslim Indonesia Kontemporer Karya Aay Muhammad Furkon yang diterbitkan oleh Teraju Mizan.
Dalam buku ini Metamorfosis PKS terbagi pada tiga periode yaitu periode pertama 1980 – 1990 sebagai periode pembinaan diri dan keluarga, kedua 1990-1998 sebagai periode pembinaan masyarakat (society) dan ketiga 1998- sekarang sebagai periode pembinaan negara (state) meskipun diakui pembagian periode ini tidak rigid. Dalam tulisan ini hendak kami tampilkan embrio PKS pada kisaran 1980-1990 yang merupakan titik awal mengetahui motiv dari tumbuhnya PKS sebagai Partai Dakwah.
Bermula dari mulai menggeliatnya dakwah kampus di tahun 1980-an muncul aktivis-aktivis dakwah kampus di UI, IKIP Bandung, ITB, UNPAD, UGM dll yang menggugah kesadaran kaum muda untuk memahami islam dengan benar. Diantara geliat dakwah tersebut muncul salah-satu yang nantinya menjadi salah seorang pendiri PK yaitu Aus Hidayat Nur Mahasiswa UI Jurusan Sastra Arab alumni LMD (Latihan Mujahid Dakwah) Masjid Salman yang dikomandani oleh Bang Imad. Aus merintis pengajian kecil di kampus UI yang diberi nama Tadabur. Meski training LMD sangat membekas bagi dirinya, Aus menyadari bahwa untuk selanjutnya ia tidak mungkin mengandalkan Salman, karena itu dirinya melakukan pencarian selanjutnya, dalam pencariannya ia bertemu dengan Buya Malik Ahmad, atas bimbingan Buya, Aus gencar melaksanakan dakwah kampus yang kelak suatu hari generasi mahasiswa angk 80-an ini berperan dalam melahirkan PKS. Pengajian Tababur semakin semarak memasuki tahun 1983 yang selanjutnya dikenal dengan nama Halaqah, entah sebuah kebetulan atau sesuatu yang terencana kelompok Halaqah ini mendapat bimbingan dari selain (almarhum) Buya Malik Ahmad tetapi juga Ustadz H. Rahmat Abdullah dan Ustadz Hilmi.
Perkembangan kelompok tarbiyah ini bisa dikatakan sangat cepat, tak sampai 10 tahun jaringannya sudah ada di hampir semua universitas di Indonesia maupun kantor-kantor pemerintahan (Padahal seperti kita ketahui bahwa pada masa tahun 80-an adalah masa keemasan Ali Murtopo tink tank-nya Orde Baru yang sangat represif bagi gerakan Islam di Indonesia, yang dalam salah satu buku al-Khaidar di katakan Politik Ali Murtopo terhadap Umat islam dikenal dengan politik pancing dan jaring. Mungkin kelompok Halaqah mengalami keberuntungan (Lucky) dibanding kelompok dakwah lainnya senantiasa kehabisan nafas untuk berajak dan bergerak.

Politik Islam, Dakwah dan Negara

Disharmoni antara politik Islam, Dakwah dan Negara (Institusi politik) adalah realitas yang tak bisa disangkal, tak ada yang linier apalagi sinergis antara ketiganya (Politik Islam, Dakwah dan Negara) baik dalam tataran konsepsi maupun aksi. Ketiganya bisa berjalan sendiri-sendiri, bisa pula berjalan paralel atau berjalan seri, bisa juga berjalan berhadap-hadapan politik Islam kontra dakwah, dakwah kontra negara, negara kontra politik Islam bisa juga politik Islam dan dakwah kontra negara, negara dan dakwah kontra politik Islam, atau negara dan politik Islam kontra dakwah.
Tidak ajegnya hubungan politik Islam, Dakwah dan Negara salah satu sebab yang telah disebutkan diatas adalah tidak adanya “Unity of command”, dan sebab lainnya karena corak Islam yang multi interpretasi sebagai hasil dari perjalanan sejarah Islam dalam eskalasi global dunia maupun lokal keindonesiaan. Ketidak ajegan juga dikarenakan tindakan musuh-musuh Islam baik dengan metode persuasive, refresive maupun aksi militeristik yang terus-menerus berupaya “memenjarakan” dan “membunuh” Islam dan Umat Islam sebagai sesuatu yang dianggap tidak layak dan tidak pantas hidup di muka bumi.
Realitas kehidupan sebagai umat manusia yang diwajibkan oleh Allah swt untuk berbakhti memenuhi kehendak Ilahi seakan ada di wilayah samar keadaan yang diliputi hijab yang tumpang tindih dari gradasi hitam pekat, hitam, kehitam-hitaman sampai putih kehitaman (meski tidak beranjak dari kenyataan “hitam”). Kebingungan, ketidak mengertian, tak sadarkan diri sampai keadaan “mati suri” dialami oleh masyarakat (Islam) yang heterogen dalam pemahaman, keyakinan sampai pengamalan. Sesuatu yang mestinya tidaklah sedemikian parahnya seperti sekarang ini, keadaan umat yang “bergantung tak bertali”.

Romantika Politik Islam Masa Orde Baru

Rejim Orde Baru yang dipimpin Soeharto merupakan hasil dari “CPM (Cudeta Politik Militer)” terhadap Soekarno, telah membuat stempel sejarah dengan menjadikan dua tregedi sejarah yang terjadi di masa Orde Lama yaitu berdirinya NII 1949 (-“pemberontakan DI/TII”) dan G 30 S/PKI 1965 sebagai stempel negara untuk mengokohkan dan mempertahankan kekuasaan sosio politiknya. Stigma yang dibuat secara sistemik menjadikan “ekstrim kanan” NII dan “ekstrim kiri” PKI sebagai monster yang membahayakan bagi kelangsungan hidup bangsa dan negara (Baca : Orde baru).
H. Hartono Mardjono S.H., (Alm) menangkap fenomena unik yang terjadi pasca penumpasan G 30 S/PKI 1968-an dalam kehidupan sosial politik bangsa Indonesia. Setidakanya ada tiga fenomena unik diantaranya :
  • Pertama, ditengah-tengah kehidupan sehari-hari gairah masyarakat untuk mempelajari dan mengamalkan Islam memang luar biasa. Semua masjid penuh sesak pada setiap shalat Jum’at dan pada saat-saat Shalat Taraweh dan Shalat Ied. Di kantor-kantor, gedung-gedung, sekolah-sekolah, kampus-kampus maupun hotel diselenggarakan shalat Jum’at dan pengajian-pengajian, jumlah jama’ah Haji terus meninggat.
  • Fenomena kedua, dikantor-kantor pemerintah maupun perusahaan swasta dan kampus terjadi pembersihan terhadap sisa-sisa yang tersangkut langsung maupun tidak dengan G30S/PKI terus dilakukan.
  • Fenomena ketiga, adanya satu kekuatan yang sikap dan tindakannya sangat tidak menyenangkan Islam serta selalu berupaya menyingkirkan Umat Islam dari pemerintahan yang mengelilingi Soeharto sebagai pimpinan Orde Baru. Klik atau kelompok kecil itu berada di bawah pimpinan Ali Moertopo, asisten pribadi bidang politik pimpinan Orde Baru disamping menjadi pemimpin Operasi Khusus (Opsus), sebuah badan ekstrakonstitusional yang melakukan operasi-operasi khusus dengan cara-cara intelejen. Dalam prakteknya OPSUS merupakan invisible government yang dapat melakukan segala macam tindakan, termasuk merekayasa kehidupan sosial politik sehingga peranannya sangat besar dan ditakuti rakyat.
Sebenarnya telah terjadi dua fenomena yang kontradiktif. Disatu pihak, Islam sangat diminati dalam kehidupan masyarakat, sekaligus dipelajari, dan diamalkan. Bahkan potensi umatnya sangat diperlukan dalam menumpas pemberontakan PKI. Akan tetapi, ibarat anomaly, di dalam masalah politik hal itu menjadi lain sama sekali.
Kuntowijoyo , menyatakan bahwa hubungan antara Islam dan negara sebagian ajeg sebagian naik-turun. Menurutnya Kita “terpaksa” membedakan agama (Islam) sebagai kekuatan politik dan Islam sebagai Ibadah. Politik Islam demikian sudah dijalankan pada peralihan abad ke-20 oleh pemerintahan Hindia Belanda atas anjuran C. Snouck Hurgroje (Baca H. Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda (Jakarta: LP3ES, 1985) “Islam Politik” ditekan, “Islam Ibadah” di angkat. Hasilnya? Lahirnya SI (Syarekat Islam) pada tahun 1911 berkat mobilitas social kelas menengah terpelajar dan usahawan yang menjadikan Islam sebagai Aqidah dan Ideologi.
Sadar atau tidak rupanya Orde Baru memakai politik islam made in C. Snouck Hurgronje sepanjang 1970-1990. Kepada “Islam Politik” Orde Baru hubungannya diwarnai kecurigaan, dan kepada “Islam Ibadah” sepanjang tahun 1970 – 1990 menunjukan kenaikan terus menerus.
Dr. Din Syamsudin melihat hubungan “Islam Politik” dan pemerintahan Orde Baru diantaranya menyebutkan bahwa masa sepuluh tahun pertama (1966-1976) merupakan “masa pengkondisian” dimana terjadi depolitisasi terhadap kalangan Islam. Sepuluh tahun kedua (1976-1986) muncul apa yang disebut “masa uji coba” yang meniscayakan kalangan Islam menerima Pancasila sebagai asas tunggal dalam berbagai organisasi sosial politik .
Sementara R. William Liddle, Indonesianis asal Amerika, menyebutkan bahwa akhir 1960-an sampai pertengahan tahun 1980-an merupakan masa yang sangat berat bagi umat Islam, dalam posisinya sebagai kambing hitam tercetusnya berbagai peristiwa di tingkat nasional. Namun sejak pertengahan 1980-an, kebijakan politik Orde Baru melalui perlawanan yang bersifat manifes. Dalam hal ini, berkembang berbagai model koreksi dan kontrol terhadap jalannya kekuasaan melalui cara-cara yang terbuka dan artikulasi terus-terang.
Berbagai telaah tentang hubungan umat Islam dengan pemerintahan Orde Baru ternyata bermuara pada kesimpulan yang sama, yaitu diwarnai pasang surut. Responsifitas panggung politik Orde Baru terhadap Umat islam secara umum yang berdampak pada gerakan dakwah Islam secara khusus mengalami 3 masa peralihan.

Marginalisasi Islam Dari Panggung Politik Orde Baru (1968 – 1988)

Kuntowijoyo menuliskan tentang “Islam Politik” (istilah yang dipakai beliau tentang Politik Islam) dimana mitos politik tentang pembangkangan Islam sangat terpateri dalam kesadaran sejarah bangsa, yaitu sejak kerajaan-kerajaan tradisional (dengan “Kudeta” para wali melahirkan Kerajaan Demak) Zaman Belanda dengan PerlawananGerakan Islam), dan NKRI dengan (“DI/TII”) yang menyebabkan pengambil kebijakan Orde Baru bersikap sangat kritis terhadap “Islam Politik”. Demikianlah sepanjang tahun 1970 –1988 kata-kata “ekstrem kanan”, “NII”, “mendirikan Negara Islam”, “SARA” dan “Anti Pancasila” sangat gencar dituduhkan pada “Islam Politik”. Berjatuhan korban-korban di Nusakambangan, Cipinang, dan tempat-tempat lain.
Kalangan umat Islam, khususnya keluarga besar eks-Masyumi merasa sangat kecewa atas sikap dan kebijakan pemerintahan Orde Baru pada rentang tahun 70-an. Orde Baru telah melarang kehadiran kembali Masyumi, sementara Ali Moertopo dan kawan-kawan selaku invisible government melakukan rekayasa politik untuk mengubah status Sekretariat Bersama Golongan Karya (Sekber Golkar) sebagai partai politik dengan dukungan penuh ABRI dan birokrasi. Hal lain yang patut dicatat adalah adanya slogan atau doktrin yang disiapkan Ali Moertopo Cs dan kemudian selalu didengung-dengungkan di tengah masyarakat bahwa “Islam sangat membahayakan kelangsungan hidup Pancasila”, bahwa “Politik No, Pembangunan Yes”, “Rakyat harus menjadi floating mass” serta bagi pegawai negeri dan karyawan BUMN berlaku asas monoloyalitas mutlak kepada Golkar, bukan kepada bangsa dan Negara”.
Apa yang terjadi di tahun 1980-an dalam rangkaian peristiwa politik Orde Baru, diantaranya yang penting dicatat :
  • Tanggal 16 Agustus 1982, Presiden Soeharto dengan resmi mengemukakan gagasan “Asas Tunggal Pancasila” di depan sidang pleno DPR RI yang kemudian tertuang dalam Tap II/MPR/1983, tentang GBHN yang mengatur kehidupan sosio politk, yang menegaskan : “… demi kelestarian dan pengamalan Pancasila, secara partai politik dan Golongan Karya harus benar-benar menjadi kekuatan sosial politik yang hanya berasaskan Pancasila, sebagai satu-satunya asas.”
  • Sementara itu Menteri Agama RI pada tanggal 6 November 1982 menyatakan “Wadah Musyawarah antar Umat Beragama” yang diakui oleh pemerintah sebagai lembaga, terdiri dari MUI (Majelis Ulama Indonesia) DGI (Dewan Gereja Indonesia), MAWI (Majelis Agung Wali Gereja Indonesia), PHDP (Parasida Hindhu Dharma Pusat) dan WALUBI (Perwalian Umat Budha Indonesia). Sementara majelis agama dan organisasi kemaysrakatan mempunyai asas keyakinan menurut agama masing-masing dengan tetap tidak mengabaikan penghayatan dan pengamalan Pancasila, sebab tujuan mereka ialah “ …Untuk membina umatnya masing-masing agar menjadi pemeluk/pengikut agama yang taat, sekaligus warga negara yang Pancasilais”.
  • Selanjutnya Menteri Pemuda dan Olah Raga, Abdul Gafur mendesak Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang bukan parpol untuk merubah Anggaran Dasar Organisasinya dalam Kongres HMI di Medan, menjadikan Pancasila sebagai asas.
  • Pemerintah Orde Baru mengajukan RUU tentang Organisasi Kemasyarakatan yang menegaskan pasal 2 berbunyi : “Organisasi kemasyarakatan berasaskan Pancasila sebagai satu-satunya asas”. Dan RUU tersebut disahkan menjadi UU oleh DPR.
Menarik untuk dicermati respon M. Natsir (alm) terhadap perkembangan politik pemerintahan Orde Baru tahun 1980-an pada Panji Masyarakat No. 542 Juni 1987 beliau menyatakan : “ Dulu Islam dan Pancasila ibarat dua sejoli, “kerabat kerja” yang bersama-sama tampil ke depan dalam menghadapi persoalan-persoalan hidup bermasyarakat dan bernegara. Sementara itu zaman beredar, musim berganti. Sekarang (1980-an) kelihatan duduk berdampingan saja tidak diperbolehkan lagi. Selanjutnya beliau menyatakan “ adapun perspektif di zaman seterusnya banyak sekali tergantung kepada umat Islam sendiri. Kepada kemampuannya memulihkan rasa-harga-diri, dan kualitas kegiatannya menghadapi ujian masa. Tidak ada yang tetap dalam hidup –duniawi ini. Yang tetap hanya terus beredarnya perubahan.

Masa Orde Baru yang akomodatif terhadap Islam (1988 – 1996)

Bila Dasawarsa 1970-an dihiasi dengan adanya peristiwa Komando Jihad (Komji), 1984 terjadi Peristiwa Tanjung Periok, tahun 1989 ada GPK Lampung. Pada tahun 1990-an istilah “Islam phobi” balik digunakan untuk orang-orang yang mencoba mendeskriditkan Islam maka sejak itu menurut Kunto gugurlah mitos-mitos politik pembangkangan Islam. Umat merasakan kembali hak sebagai warga negara penuh, umat Islam bukan lagi Underdog.
Diawali pada periode Kabinet Pembangunan V (1988-1993) dan diteruskan pada Kabinet Pembangunan VI (1993-1998), kebijakan politik Mandataris MPR yang akomodatif terhadap Islam memang dapat dilihat dan dirasakan. Islam dan umat tidak “lagi” dipinggirkan dan disudutkan dari kekuasaan politik sehingga ajaran-ajarannya mulai dirasakan manfaatnya bagi kepentingan pembangunan dan kehidupan bangsa Indonesia . Keadaan sosio politik pasca 1988 berpengaruh pula terhadap adanya iklim kondusif bagi berkembangnya gerakan dakwah.
Sikap akomodatif pemerintah terhadap umat Islam diantaranya :
  1. Disetujuinya Inisiatif pemerintah yang mengajukan RUU Sistem Pendidikan Nasional kepada DPR dan menjadi UU Sistem Diknas yang salah satu ketentuan dalam UU tersebut tercantum adanya Pendidikan Agama menjadi mata pelajaran wajib yang harus diberikan kepada anak didik dari Taman Kanak-kanak hingga Perguruan Tinggi.
  2. Disyahkannya UU Peradilan Agama yang memuat bahwa bagi mereka yang beragama Islam berlaku hokum Islam dalam masalah perkawinan, warisan, waqaf, hibah dan sedekah.
  3. Disyahkannya UU Perbankan tentang keberadaan Bank Muamalat Indonesia dengan system Ekomoni Syari’at dan diperbolehkannya berdirinya Bank-bank yang berdasarkan system ekonomi syari’at, maka berdirilah Bank-bank Perkeriditan Syari’at (BPR Syariah).
  4. Penghapusan larangan mengenakan Jilbab. Sebelum SU MPR 1988, sejak tahun 1978 di lingkungan sekolah oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daud Yusuf yang juga Direktur CSIS melarang siswa Muslimah mengenakan Jilbab yang berdampak pada banyaknya korban yang dikeluarkan oleh pihak sekolah. Kebijakan ini mendapat reaksi yang sangat keras dari Umat Islam yang akhirnya larangan mengenakan jilbab di hapus oleh pemerintah.
  5. Penghapusan Judi SDSB seusai SU MPR 1988.
  6. Berdirinya ICMI yang diketuai oleh Prof. Dr. Ing B.J. Habibie yang juga selaku Menristek pada tahun 1990. Dengan hadirnya ICMI berdampak pada akomodatif pemerintah terhadap umat Islam.
  7. Dijadikannya IMTAK (Iman dan Takwa) sebagai asas Pembangunan Nasional dalam GBHN 1993 yang merupakan produk SU MPR 1993.
  8. Melemahnya kekuasaan “RMS” (Radius, Mooi, Sumarlin) pada Kabinet Pembangunan VI tahun 1993 dan digantikan perannya oleh Saleh Afif dan Mar’ie Muhammad, serta banyak menteri baru dari ICMI, sehingga menguatnya isu Islamisasi atau “penghijauan” di pemerintahan.
Mendekatnya Soeharto ke Islam adalah realitas politik yang dihadapi pada masa ini. Menurut sejumlah pengamat, bergesernya sikap politik Soeharto yang lebih cenderung ke Islam memunculkan tiga kemungkinan. Pertama adanya kooptasi pemerintah terhadap umat Islam. Pemerintah sebagai subyek menjadikan umat Islam sebagai obyek dan dimanfaatkan untuk tujuan politiknya.
Kedua, adanya akomodasi pemerintah terhadap umat Islam. Pemerintah menyadari akan kekeliruannya di masa lalu. Sebagai balasannya, pemerintah mengakomodasi kepentingan umat Islam dengan cara mendekati, merangkul umat Islam dan memberikan tempa yang layak di dalam inner circle kekuasaan.
Ketiga, suatu bentuk integrasi umat ke pemerintah. Disini posisi umat sebagai pihak yang pro-aktif terhadap pemerintah. Umat Islam sebagai subyek melakukan integrasi ke dalam lingkar kekuasaan. Hal ini dapat juga dibaca sebagai keberhasilan umat Islam membuat jaringan dakwah hingga menembus lapisan kekuasaan tertinggi, yakni presiden .
Sulit untuk melihat dari tiga kemungkinan itu mana yang benar karena sejarah politik Islam di Indonesia tidak pernah terlepas dari idiom “pendorong mobil mogok” “habis manis sepah dibuang” atau politik “NU (Nurut Udud)”.

Periode Pra Reformasi (1996 – 1998)

Ketika M. Amien Rais di tahun 1996 menggelindingkan istilah “suksesi” kepemimpinan sebagai high politic, yang menentang arus dari kenyataan politik yang ada. Ada semacam ketidaksiapan pergantian kepemimpinan nasional dalam hal ini jabatan presiden yang telah 30 tahun di jabat oleh Soeharto, padahal pada saat itu Soeharto telah berusia 75 tahun sehingga adalah hal yang wajar untuk mempersiapkan siapa pengganti beliau. H. Hartono Mardjono, S.H. menyebutkan bahwa masa tahun 1996-1998 adalah masa yang kritis karena akan mengalami beberapa peristiwa diantaranya : (1) Sisa masa kepresidenan periode 1993 – 1998, (2) Pemilihan Umum pada Mei 1997 dan (3) Sidang Umum MPR pada Maret 1998.
Disaat situasi kondisi seperti ini, timbul fenomena politik yang berkaitan dengan rasionalisasi dan proporsionalisasi dalam penataan kehidupan politik, yaitu timbulnya perasaan tersingkirnya kalangan nasionalis sekular dan Islamo phobi dari pusat-pusat kekuasaan. Dalam kepemimpinan ABRI misalnya telah terjadi pergantian pemimpin dari “ABRI merah-putih” kepada “ABRI hijau”, di dalam lembaga MPR/DPR tersebar isu bahwa elit politik sedang menjalankan kebijakan “menghijau royo-royokan MPR/DPR”, terlebih dalam jajaran eksekutif sejak 2 kabinet terakhir tahun 1988 – 1993 dan 1993 – 1998 menguatnya peran “orang-orang Habibie” atau ICMI yang menggeser kelompok Islamo Phobi “RMS” (Radius, Moi, Sumarlin) yang di awal pemerintahan Orde Baru kelompok ini (RMS) dan kekuatan militer “Dwi Fungsi ABRI” yang dikendalikan oleh Jenderal L.B.Moerdani telah menciptakan stabilitas nasional yang semu.
Ide “suksesi kepemimpinan” yang disampaikan oleh Amien Rais dan selanjutnya di usung oleh gerakan mahasiswa yang menjadi “lokomotif” reformasi seperti bola salju yang terus menggelinding ke segenap aspek kehidupan – krisis moneter berlanjut ke krisis ekonomi, krisis politik akhirnya berdampak krisis multidimensional yang pada akhirnya membuahkan jatuhnya kekuasaan Orde Baru (Soeharto) Mei 1998.

“Kebingungan” Politik Islam Masa Reformasi

Belum habis periode “bulan madu” akomodatif kalangan “Islam Politik” oleh negara (Orde Baru) yang berlangsung sejak akhir tahun 1980-an atau awal tahun 1990-an, tiba-tiba saja situasi politik berubah menjadi sangat membingungkan dengan jatuhnya Soeharto pada 21 Mei 1998. Soeharto, yang pada awalnya dipahami oleh kalangan Islam Politik sebagai “pintu”, “instrument”, bahkan “patron” dalam upaya memperbesar akomodasi dan representasi politik Islam, tiba-tiba diposisikan sebagai musuh bersama publik, bahkan oleh sebagian besar kalangan Islam sekalipun. Sementara B.J. Habibie (yang untuk sebagian kalangan dipahami sebagai simbol Islam) , sebagai pengganti Soeharto dalam pemerintahan transisi belum siap sepenuhnya menjadi penguasa baru, secara tiba-tiba mesti dipaksakan menjadi “pintu”, “intrument”, atau “patron” baru , Habibie menurut pandangan Ahmad Syafii Maarif seorang yang baik, tetapi datang pada waktu yang salah (a right man on the wrong time).
Eep Saefulloh Fatah menilai bahwa partisipasi politik umat Islam masa reformasi berangkat dari kebingungan terhadap peran dan aksi apa yang harus diambil sehingga terjadi “kekeliruan politik kalangan Islam” yang sebetulnya bukan sebagai kekeliruan baru tetapi kekeliruan lama yang berulang, akibatnya kalangan Islam tetap “Gapol”-Gagap politik.
Ada duapuluh lima kekeliruan politik kalangan Islam menurut Eep diantaranya :
  1. Senang membuat kerumunan, tidak rajin menggalang barisan
  2. Suka marah, tidak suka melakukan perlawanan
  3. Reaktif, bukan proaktif
  4. Suka terpesona oleh keaktoran, bukan oleh wacana atau isme yang dimiliki/diproduksi sang aktor.
  5. Sibuk berurusan dengan kulit, tidak peka mengurusi isi.
  6. Gemar membuat organisasi, kurang mampu membuat jaringan.
  7. Cenderung memahami segala sesuatu secara simplistic, kurang suka dengan kerumitan-kecanggihan padahal inilah adanya segala sesuatu itu.
  8. Sering berpikir linier tentang sejarah, kurang suka bersusah-susah memahami sejarah dengan rumus dialetika atau sinergis.
  9. Enggan melihat diri sebagai tumpuan perubahan, sebaliknya cenderung berharap, perubahan dari atas/para pemimpin.
  10. Senang membuat program, kurang mampu membuat agenda.
  11. Cenderung memahami dan menjalani segala sesuatu secara parsial, tidak secara integral (kaffah).
  12. Senang bergumul dengan soal-soal jangka pendek, kurang telaten mengurusi agenda jangka panjang.
  13. Terus-menerus “menyerang musuh” di markas besarnya, abai pada prioritas pertama “menyerang musuh” pada gudang amunisinya.
  14. Kerap menjadikan politik sebagai tujuan, bukan sebagai alat.
  15. Senang mengandalkan dan memobilisasi orang banyak atau massa untuk segala sesuatu, abai pada fakta bahwa perubahan besar dalam sejarah selalu digarap pertama-tama oleh creative minority .
  16. Senang berpikir bagaimana memakmurkan masjid, kurang giat dan serius berpikir bagaimana memakmurkan jamaah mesjid.
  17. Senang menghapalkan tujuan sambil mengabaikan pentingnya metode, tidak berusaha memahami dengan baik tujuan itu sambil terus menerus mengasah metode.
  18. Senang merebut masa depan dengan meninggalkan hari ini atau merebut hari ini tanpa kerangka masa depan, bukannya merebut masa depan dengan mencoba merebut hari ini.
  19. Sangat pandai membongkar-bongkar, kurang pandai membongkar pasang
  20. Sangat cepat dan gegabah merumuskan musuh baru (dan lama), sangat lamban dan enggan merangkul kawan baru.
  21. Gegap gempita di wilayah ritual, senyap di wilayah politik dan sosial.
  22. Selalu ingin cepat meraih hasil, melupakan keharusan untuk bersabar.
  23. Senang menawarkan program revolusioner tapi abai membangun struktur revolusi.
  24. Selalu berusaha membuat politik hitam putih, bukan penuh warna tak terhingga, dan
  25. Sangat pandai melihat kesalahan pada orang lain, kurang suka melakukan intropeksi .

Referensi

• Aay Muhamad Furkon, (2004), Partai Keadilan Sejahtera, Teraju-Mizan, Bandung.
• Abul A’la Al-Maududi, (1995), Hukum dan Konsistensi Sistem Politik Islam, Mizan, Bandung.
• Abdul Rashid Moten, (2001), Ilmu Politik Islam, Pustaka, Bandung.
• Adeng Muchtar Ghazali, Drs., M.Ag., (2004), Perjalanan Politik Umat Islam, Pustaka Setia, Bandung.
• Ahmad Suhelmi, M.A., (1999), Pemikiran Politik Barat, Darul Falah, Jakarta.
• Ali Zainal Abidin, (2004), Identitas Mazhab Syiah, Ilya, Jakarta.
• Anders Uhlin (1998), Oposisi Berserak, Mizan, Bandung.
• A.P.E. Korver, (1985), Sarekat Islam Gerakan Ratu Adil?, Grafitipres, Jakarta.
• Aqib Suminto, H., (1985), Politik Islam Hindia Belanda, LP3ES, Jakarta.
• Bahtiar Effendy, (2000), Repolitisasi Islam; Pernahkan Islam Berhenti Berpolitik, Mizan, Bandung.
• Dale F. Eickelman dan James Piscatori, (1998), Ekspresi Politik Muslim, Mizan, Bandung.
• Din Syamsudin, (2001), Islam dan Politik Era Orde Baru, Logos, Jakarta.
• Endang Saifuddin Anshari, H., M.A., (1986), Piagam Jakarta, Rajawali Press, Jakarta.
• Enung Asmaya, (2003), Aa Gym Dai Sejuk Dalam Masyarakat Majemuk, Hikmah, Bandung.
• Fathi Yakan, Dr., (2003), Menuju Bersatunya Islam Internasional, Iqra Insan Press, Jakarta.
• G.J. Renier, (1997), Metode dan Manfaat Ilmu Sejarah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
• Hartono Ahmad Jaiz, (2002), Aliran dan Pemahaman Sesat di Indonesia, Pustaka Al-Kautsar, Jakarta.
• Hartono Mardjono, H., SH., (1996), Politik Indonesia (1996-2003), Gema Insani Press, Jakarta.
• Hendra Gunawan, SS.,(2000), M. Natsir & Darul Islam: Studi Kasus Aceh dan Sulawesi Selatan Tahun 1953-1958, Media Dakwah, Jakarta.
• H.O.S Tjokroaminoto, (2003), Islam dan Sosialisme, Tride, Jakarta.
• Holk H.Dengel, (1995), Darul Islam dan Kartosuwirjo, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
• Imam Munawwir, (1985), Mengapa Umat Islam Dilanda Perpecahan, Pustaka Nasional, Singapura.
• Ilham Gunawan, Drs., dan Frans B.S. Drs., (2003), Kamus Politik Dalam & Luar Negeri, Restu Agung, Jakarta.
• Jimly Asshiddiqie, Prof., Dr., S.H., (ed.) (2002), Bang ‘Imad Pemikiran dan Gerakan Dakwahnya, Gema Insani Press.
• Kamaruzzaman Bustaman-Ahmad, (2004), Wajah Baru Islam di Indonesia, UII Press, Yogyakarta.
• Kuntowijoyo, (1999), Identitas Politik Umat Islam, Mizan, Bandung
• Lathiful Khuluq, (2002), Strategi Belanda Melumpuhkan Islam, Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
• Miftah Faridl, DR., (2003), Islam Dalam Berbagai Aspeknya, Pustaka, Bandung.
• Miriam Budiardjo, Prof., (1998), Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta.
• Muhammad ‘Imaduddin’ Abdulrahim, PH.D., (1999), Islam Sistem Nilai Terpadu, Pustaka, Bandung.
• M.A. Gani, Drs., MA., (1984), Cita Dasar Pola Perjuangan Syarikat Islam, Bulan Bintang, Jakarta.
• M. Natsir (2001), Agama dan Negara Dalam Perspektif Islam, Media Dakwah, Jakarta.
• M. Masyrur Amin, (1995), HOS Tjokroaminoto Rekonstruksi Pemikiran dan Perjuangan, Cokroaminoto University Press, Yogyakarta.
• Muhammad ‘Abbas, Dr., (2004), Bukan Tapi Perang Terhadap Islam, Al-Qowam, Solo.
• Rusadi Kantaprawira, (1988), Sistem Politik Indonesia, Sinar Baru, Bandung.
• Roger Eatwell dan Anthony Wright (ed.), (2004), Penerbit Jendela, Yogyakarta.
• Syukriadi Sambas, Drs. H., M.Si., (1999), Filsafat Dakwah, KP Hadid, Bandung.
• Thohir Abdullah Al-Kaff, K.H., dkk, (2002), Mengapa Kita Menolak Syi’ah, LPPI, Jakarta.
• Yudi Latif, (1999), Masa Lalu Yang Membunuh Masa Depan, Mizan, Bandung.
• Zainal Abidin Ahmad, H., (2001), Membangun Negara Islam, Iqra Pustaka, Yogyakarta.
• —- Hidayatullah, Edisi Khusus 01/TH XIV, Mei 200, “ Dakwah Menerobos Zaman Baru”.
• —- Hidayatullah, Edisi 02/XVI/Juni 2004, “Cegah Pemimpin Jadi Berhala”.
• —- Ulumul Qur’an, Nomor 3. Vol V Th 1994, “ Studi Islam di Timur atau Barat”
• —- Ulumul Qur’an, Nomor 3. Vol VI Th 1995, “ 25 Tahun Pembaharuan Pemikiran Islam”
• —- Ulumul Qur’an, Vol. IV No. 2 Th 1993
• —- Sabili, Edisi Khusus Juli 2004, “Islam Kawan atau Lawan”

Pendahuluan
Islam pesisir dan Islam pedalaman memang pernah memiliki konflik yang keras terutama di masa awal Islamisasi Jawa, yaitu ketika pusat kerajaan Demak di pesisir kemudian beralih ke pusat kerajaan Pajang di pedalaman. Ketika Aryo Penangsang yang didukung oleh Sunan Kudus kalah melawan Pangeran Hadiwijaya yang didukung oleh Sunan Kalijaga, maka mulai saat itulah sesungguhnya terjadi rivalitas pesisiran-pedalaman. Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik, maka varian Islam pesisiran dan Islam pedalaman pun bergeser sedemikian rupa. Perubahan itu terjadi karena factor politik yang sering menjadi variabel penting dalam urusan rivalitas tidak lagi dominan dalam wacana dan praktik kehidupan masyarakat.
Islam pesisiran sering diidentifikasi lebih puris ketimbang Islam pedalaman. Gambaran ini tidak sepenuhnya benar, mengingat bahwa di Indonesia –khususnya Jawa—varian-varian Islam itu dapat dilihat sebagai realitas sosial yang memang unik. Sehingga ketika seseorang berbicara tentang Islam pesisir pun tetap ada varian-varian Islam yang senyatanya menggambarkan adanya fenomena bahwa Islam ketika berada di tangan masyarakat adalah Islam yang sudah mengalami humanisasi sesuai dengan kemampuannya untuk menafsirkan Islam. Demikian pula ketika berbicara tentang Islam pedalaman, hakikatnya juga terdapat varian-varian yang menggambarkan bahwa ketika Islam berada di pemahaman masyarakat maka juga akan terdapat varian-varian sesuai dengan kadar paham masyarakat tentang Islam.
Sesungguhnya, varian-varian Islam itulah yang menjadikan kajian tentang Islam Nusantara –khususnya Jawa—menjadi menarik tidak hanya dari perspektif politik saja tetapi juga sosiologis-antropologis. Tak ayal lagi, maka kajian tentang Islam Jawa juga memperoleh tempat yang sangat penting dalam dunia kajian ilmiah.
Karya-karya tentang Islam Jawa terus bermunculan, terutama dalam perspektif sosiologis-antropologis. Semenjak Geertz melakukan kajian tentang The Religion of Java, maka kajian terus berlanjut, baik yang bersetuju dengannya ataukah yang menolaknya. Tulisan ini secara sengaja mengambil titik tolak kajian Geertz yang  disebabkan oleh konsep trikhotominya ternyata  memantik banyak perdebatan tentang Islam Indonesia. Terlepas dari  kelebihan atau kelemahan konsepsi Geertz, namun perlu digarisbawahi bahwa konsepsi Geertz tentang Islam Jawa banyak menjadi sumber inspirasi untuk kajian Islam Indonesia.
Perdebatan Konseptual Islam Indonesia
Kajian  Islam dan masyarakat telah banyak dilakukan semenjak tahun 1950an. Berbagai  karya monumental pun telah banyak dihasilkan, misalnya Clifford Geertz,  “The Javanese Religion”. Konsep yang dihasilkan dari kajian ini adalah penggolongan sosial budaya berdasarkan aliran ideologi. Konsep aliran inilah kemudian hampir seluruh pengkajian tentang masyarakat dan penggolongan sosial, budaya, ekonomi dan bahkan politik.. Pada masyarakat Jawa, aliran ideologi berbasis pada keyakinan keagamaan. Abangan adalah mewakili tipe masyarakat pertanian perdesaan dengan segala atribut keyakinan ritual dan interaksi-interaksi tradisional yang dibangun diatas pola bagi tindakannya. Salah satu yang mengedepan dari konsepsi Geertz adalah pandangannya tentang dinamika hubungann antara islam dan masyarakat Jawa yang sinkretik. Sinkretisitas tersebut nampak dalam pola dari tindakan orang Jawa yang cenderung tidak hanya percaya terhadap, hal-hal gaib dengan seperangkat ritual-ritualnya, akan tetapi juga pandangannya bahwa alam diatur sesuai dengan hukum-hukumnya dengan manusia selalu terlibat di dalamnya. Hukum-hukum itu yang disebut sebagai numerologi. Melalui numerologi inilah manusia melakukan serangkaian tindakan yang tidak boleh bertentangan dengannya. Hampir seluruh kehidupan orang Jawa disetting berdasarkan hitungan-hitungan yang diyakini keabsahannya. Kebahagiaan atau ketidakbahagian hidup di dunia ditentukan oleh benar atau tidaknnya pedoman tersebut dilakukan dalam kehidupan. Penggunaan numerologi yang khas Jawa itu menyebabkan adanya asumsi bahwa orang jawa tidak dengan segenap fisik dan batinnya ketika memeluk Islam sebagai agamanya. Di sinilah awal mula “perselingkuhan” antara dua keyakinan: Islam dan budaya Jawa.
Dari sekian banyak Indonesianis, maka Clifford Geertz adalah orang yang memiliki sumbangan luar biasa dalam kajian masyarakat Indonesia. Berkat kajian-kajian yang dilakukan maka Indonesia bisa menjadi lahan amat penting bagi studi-studi sosiologis-antropologis yang mengdepan. Berkat sumbangan akademisnya itulah maka Geertz dianggap oleh banyak kalangan sebagai pembuka jendela kajian Indonesia. Geertz adalah sosok luar biasa yang dapat melakukan modifikasi konseptual. Melalui kemampuan modifikasinya itu, ia menemukan hubungan antara sistem simbol, sistem nilai dan sistem evaluasi. Ia dapat menyatukan konsepsi kaum kognitifisme yang beranggapan bahwa kebudayaan adalah sistem kognitif, sistem makna dan sistem budaya, maka agar tindakan bisa dipahami oleh orang lain, maka harus ada suatu konsep lain yang menghubungkan antara sistem makna dan sistem nilai, yaitu sistem simbol. Sistem makna dan sistem nilai tentu saja tidak bisa dipahami oleh orang lain, karena sangat individual. Untuk itu maka harus ada sebuah sistem yang dapat mengkomunikasikan hubungan keduanya, yaitu sistem simbol. Melalui sistem simbol itulah sistem makna dan sistem kognitif yang tersembunyi dapat dikomunikasikan dan kemudian dipahami oleh orang lain.[1] Geertz adalah ilmuwan yang memiliki minat kajian yang sangat variatif. Ia tidak hanya mengkaji persoalan agama dan masyarakat dalam perspektif sosiologis atau antropologis, tetapi juga mengkaji sejarah sosial melalui kajiannya tentang perubahan sosial di dua kota di indonesia. Ia juga mengkaji masalah ekonomi. Melalui kajiannya tentang ekonomi masyarakat pedesaan Jawa, ia menghasilkan teori yang hingga dewasa ini masih diperbincangkan, yaitu teori involusi.
Salah satu kehebatan sebuah karya adalah jika karya itu dibicarakan dan dijadikan sebagai bahan rujukan berbagai karya yang datang berikutnya. Salah satu karya yang banyak mendapatkan sorotan itu adalah karya Geertz tentang konsep agama Jawa tersebut. Kajian Geertz memantik berbagai reaksi, baik yang pro maupun yang kontra. Di antara yang menolak konsepsi Geertz adalah Harsya Bachtiar, ahli sejarah sosial, yang mencoba mengkontraskan konsepsi Geertz dengan realitas sosial. Di antara konsepsi yang ditolaknya adalah mengenai abangan sebagai kategori ketaatan beragama. Abangan adalah lawan dari mutihan, sebagai kategori ketaatan beragama dan bukan klasifikasi sosial. Demikian pula konsep priyayi juga berlawanan dengan wong cilik dalam penggolongan sosial. Jadi, terdapat kekacauan dalam penggolongan abangan, santri dan priyayi.[2]
Namun demikian, anehnya konsepsi Geertz tersebut hingga sekarang menjadi acuan utama dalam berbagai kajian tentang Islam dan masyarakat di Indonesia. Di antara kajian yang menolak konsepsi Geertz adalah Mark R. Woodward dalam tulisannya yang bertopik “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism  in the Sultanate of Jogyakarta,” 1985 dan telah diterjemahkan ke dalam edisi Indonesia dengan topik “Islam Jawa: Kesalehan versus Kebatinan Jawa”, 2001. Karya ini merupakan sanggahan terhadap konsepsi Geertz bahwa Islam Jawa adalah Islam sinkretik yang merupakan campuran antara Islam, Hindu Budha dan Animisme. Dalam kajiannya tentang Islam di pusat kerajaan yang dianggap paling sinkretik dalam belantara keberagamaan (keislaman) ternyata justru tidak ditemui unsur sinkretisme atau pengaruh ajaran Hindu Budha di dalamnya. Melalui kajian secara mendalam terhadap agama-agama di Hindu di India, yang dimaksudkan sebagai kacamata untuk melihat Islam di Jawa yang dikenal sebagai paduan antara Hindu, Islam dan keyakinan lokal, maka ternyata tidak ditemui unsur tersebut didalam tradisi keagamaan Islam di Jawa, padahal yang dikaji adalah Islam yang dianggap paling lokal, yaitu Islam di pusat kerajaan, Jogyakarta. Melalui konsep aksiomatika struktural, maka diperoleh gambaran bahwa Islam Jawa adalah Islam juga, hanya saja Islam yang berada di dalam konteksnya. Islam sebagaimana di tempat lain yang sudah bersentuhan dengan tradisi dan konteksnya. Islam Persia, Islam Maroko, Islam Malaysia, Islam Mesir dan sebagainya adalah contoh mengenai Islam hasil bentukan antara Islam yang genuin Arab dengan kenyataan-kenyataan sosial di dalam konteksnya. Memang harus diakui bahwa tidak ada ajaran agama yang turun di dunia ini dalam konteks vakum budaya. Itulah sebabnya, ketika islam datang ke lokus ini, maka mau tidak mau juga harus bersentuhan dengan budaya lokal yang telah menjadi seperangkat pengetahuan bagi penduduk setempat.[3]
Woodward memperoleh banyak dukungan, misalnya dari Muhaimin,[4] yang mengkaji Islam dalam konteks lokal. Dalam kajiannya terhadap Islam di Cirebon melalui pendekatan alternatif, ditemukan bahwa Islam di Cirebon adalah Islam yang bernuansa khas. Bukan Islam Timur Tengah yang genuin, tetapi Islam yang sudah bersentuhan dengan konteks lokalitasnya. Islam di Cirebon adalah Islam yang melakukan akomodasi dengan tradisi-tradisi lokal, seperti keyakinan numerologi atau hari-hari baik untuk melakukan aktivitas baik ritual maupun non ritual, meyakini tentang makhluk-makhluk halus, serta berbagai ritual yang telah memperoleh sentuhan ajaran Islam. Ada proses tarik menarik bukan dalam bentuknya saling mengalahkan atau menafikan, tetapi adalah proses saling memberi dalam koridor saling menerima yang dianggap sesuai. Islam tidak menghilangkan tradisi lokal selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan Islam murni, akan tetapi Islam juga tidak membabat habis tradisi-tradisi lokal yang masih memiliki relevansi dengan tradisi besar Islam (Islamic great tradition).
Kajian yang dilakukan oleh Bartholomew,[5] tentang Islam di Lombok Timur yang dipresentasikan melalui jamaah masjid Al Jibril dan masjid Al-Nur, ternyata juga menggambarkan bagaimana respon sosial jamaah masjid terhadap Islam yang berasal dari tradisi besar tersebut. Pada masyarakat sasak yang semula bertradisi lokal yang dipengaruhi oleh tradisi-tradisi Hindu, Budha dan animisme, ketika Islam datang kepadanya maka direspon dengan cara yang berbeda meskipun berada dalam konteks lokalitasnya masing-masing. Jamaah masjid Jibril yang dalam kehidupan sehari-harinya kental dengan tradisi Islam yang bersentuhan dengan tradisi lokal dan jamaah masjid Al-Nur yang bertradisi lebih puris, namun demikian tidak menimbulkan polarisasi hubungan keduanya. Mereka menerima perbedaan itu bukan dalam kerangka untuk saling berkonflik, akan tetapi dapat mewujudkan kesinambungan dalam dinamika hubungan yang harmonis. Masyarakat Sasak menerima perbedaan dalam konteks agree in disagreement. Itulah yang kemudian dikonsepsikan sebagai kearifan sosial masyarakat Sasak.
Tulisan Nur Syam,[6] yang mengkaji Islam pesisir melalui tinjauan teori konstruksi sosial, diperoleh gambaran bahwa Islam pesisir yang sering ditipologikan sebagai islam murni, karena bersentuhan pertama kali dengan tradisi besar Islam, ternyata adalah Islam yang kolaboratif, yaitu corak hubungan antara islam dengan budaya lokal yang bercorak inkulturatif sebagai hasil konstruksi bersama antara agen (elit-elit lokal) dengan masyarakat dalam sebuah proses dialektika yang terjadi secara terus menerus. Ciri-ciri Islam kolaboratif adalah bangunan Islam yang bercorak khas, mengadopsi unsur lokal yang tidak bertentangan dengan Islam dan menguatkan ajaran islam melalui proses transformasi secara terus menerus dengan melegitimasinya berdasarkan atas teks-teks Islam yang dipahami atas dasar interpretasi elit-elit lokal. Islam yang bernuansa lokalitas tersebut hadir  melalui tafsiran agen-agen sosial yang secara aktif berkolaborasi dengan masyarakat luas dalam kerangka mewujudkan islam yang bercorak khas, yaitu Islam yang begitu menghargai terhadap tradisi-tradisi yang dianggapnya absah seperti ziarah kubur suci, menghormati terhadap masjid suci dan sumur-sumur suci. Medan budaya tersebut dikaitkan dengan kreasi para wali atau penyebar Islam awal di Jawa. Motif untuk melakukan tindakan tersebut adalah untuk memperoleh berkah. Melalui bagan konseptual in order to motif atau untuk memperoleh berkah, ternyata juga penting dilihat dari bagan konseptual because motive atau orang pergi ke tempat keramat adalah disebabkan oleh keyakinan bahwa medan-medan budaya tersebut mengandung sakralitas, mistis dan magis. Namun demikian, keduanya tidak cukup untuk menganalisis tindakan itu, maka diperlukan bagan konseptual pragmatic motive yaitu orang pergi ke medan budaya disebabkan oleh adanya motif pragmatis atau kepentingan yang mendasar di dalam kehidupannya.
Tulisan yang bernada membela terhadap Geertz juga banyak. Di antaranya adalah tulisan Beatty.[7] Tulisan ini mencoba untuk menggambarkan bahwa Islam Jawa hakikatnya adalah Islam sinkretik atau paduan antara Islam, Hindu/Budha dan kepercayaan animistik. Melalui pendekatan multivokalitas dinyatakan bahwa Islam Jawa sungguh-sungguh merupakan Islam sinkretik. Corak Islam Jawa merupakan pemaduan dari berbagai unsur yang telah menyatu sehingga tidak bisa lagi dikenali sebagai Islam. Kenyataannya Islam hanya di luarnya saja, akan tetapi intinya adalah keyakinan-keyakinan lokal. Melalui tulisannya yang bertopik “Adam and Eva and Vishnu: Syncretism in the Javanese Slametan” digambarkan bahwa inti agama Jawa ialah slametan yang di dalamnya terlihat inti dari ritual tersebut adalah keyakinan-keyakinan lokal hasil sinkresi antara Islam, Hindu/Budha dan animisme.
Meskipun menemukan konsep baru dalam jajaran kajian agama-agama lokal, yaitu bagan konseptual “lokalitas”, tetapi Mulder[8] tetap dapat dikategorikan sebagai kajian hubungan antara Islam dan masyarakat dalam konteks sinkretisme. Ketidaksetujuan Mulder terhadap Geertz, sesungguhnya merupakan perbedaan pandangan tentang Islam, Hindu/Budha dan animisme itu bercorak paduan di antara ketiganya ataukah yang lain. Mulder sampai pada kesimpulan bahwa hubungan itu bercorak menerima yang relevan dan menolak yang tidak relevan. Ternyata yang dominan menyaring setiap tradisi baru yang masuk itu adalah unsur lokal. Jadi ketika Islam masuk ke wilayah kebudayaan Jawa, maka yang disaring adalah Islam. Ajaran Islam yang cocok akan diserap untuk menjadi bagian dari tradisi lokal sedangkan yang tidak cocok akan dibuang. Itulah sebabnya Islam di Jawa hanya kulitnya saja tetapi intinya adalah tradisi lokal tersebut. Kajian-kajian ini menggambarkan tentang bagaimana cara pandang sarjana Barat tentang Islam di Indonesia, yang digambarkannya sebagai Islam nominal, yaitu Islam yang hanya di dalam pengakuan dan bukan masuk ke dalam keyakinan dan penghayatan.
Tulisan lain yang juga menganggap Islam dan masyarakat hanyalah nominal juga dijumpai dalam tulisan Budiwanti.[9] Meskipun bercorak kajian kualitatif, tetapi melalui pendekatan fungsionalisme alternatif ditemui bahwa Islam sasak sesungguhnya Islam juga hanya dalam coraknya yang khas yang lebih banyak mengadopsi unsur luar Islam yaitu tardisi-tradisi dan keyakinan-keyakinan lokal, sedangkan ajaran Islam hanyalah dijadikan sebagai pigura saja. Islam ini adalah Islam yang benar-benar berbeda dengan Islam Timur Tengah. Jika Islam lainnya menekankan pada unsur keyakinan, ritual  dan etika Islam, maka di sini hanya ditekankan pada dimensi yang sangat luar dari Islam, yaitu ritual yang sangat elementer, Islam Wetu Telu. Di tengah arus islamisasi yang terus berlangsung tersebut, maka memunculkan tekanan dari Islam Wetu Limo, yang diprakarsai oleh gerakan dakwah Islam dari Nahdlatul Wathon. Gerakan dakwah ini semakin lama semakin mendesak terhadap Islam tradisi lokal ke titik yang paling rendah, sehingga akan terdapat kemungkinan Islam Wetu Telu akan mengalami kemerosotan dalam jumlah di masa yang akan datang.
Islam di Indonesia memang mengalami pergulatannya sendiri. Di tengah arus pergulatan tersebut, corak Islam memang menjadi bervariatif mulai dari yang sangat toleran terhadap tradisi lokal maupun yang sangat puris dan menolak tradisi lokal. Gerakan-gerakan Islam pun bervariasi dari yang bercorak tradisionalisme, post-tradisionalisme sampai yang modernisme bahkan neo-modernisme. Corak keislaman  seperti itu sebenarnya menjadikan wajah Islam di Indonesia menjadi semakin menarik untuk dicermati, baik sisi sosiologisnya maupun antropologisnya.
Islam Pesisir versus  Islam Pedalaman
Islam datang ke Nusantara melalui pesisir dan kemudian masuk ke pedalaman. Itulah sebabnya ada anggapan bahwa Islam pesisir itu lebih dekat dengan Islam genuine yang disebabkan oleh adanya kontak pertama dengan pembawa islam. Meskipun Islam yang datang ke wilayah pesisir, sesungguhnya sudah merupakan Islam hasil konstruksi pembawanya, sehingga Islam yang pertama datang adalah Islam yang tidak murni. Terlepas dari teori kedatangan Islam ke Nusantara dari berbagai sumbernya, namun yang jelas bahwa Islam datang ke Nusantara ketika di wilayah ini sudah terdapat budaya yang berciri khas. Islam yang datang ke Nusantara tentunya adalah Islam yang sudah bersentuhan dengan tradisi pembawanya (da’i), seperti yang datang dari India Selatan tentunya sudah merupakan Islam hasil penafsiran komunitas Islam di India Selatan dimaksud. Demikian pula yang datang dari Gujarat, Colomander, bahkan yang bertradisi Arab sekalipun.
Bukan suatu kebetulan bahwa kebanyakan wali (penyebar Islam) berada di wilayah pesisir. Sepanjang pantai utara Jawa dapat dijumpai makam para wali yang diyakini sebagai penyebar Islam. Di Jawa Timur saja, jika dirunut dari yang tertua ke yang muda, maka didapati makam Syeikh Ibrahim Asmaraqandi di Palang Tuban, Syeikh Malik Ibrahim di Gresik,  makam Sunan Ampel di Surabaya, makam Sunan Bonang di Tuban, makam Sunan Giri di Gresik, makam Sunan Drajad di Lamongan, makam Wali Lanang di Lamongan, makam Raden Santri di Gresik dan makam Syekh Hisyamudin di Lamongan. Makam para wali ini hingga sekarang tetap dijadikan sebagai tempat suci yang ditandai dengan dijadikannya sebagai tempat untuk berziarah dengan berbagai motif dan tujuannya.
Secara geostrategis, bahwa para wali menjadikan daerah pesisir sebagai tempat mukimnya tidak lain adalah karena mudahnya jalur perjalanan dari dan ke tempat lain untuk berdakwah. Bisa dipahami sebab pada waktu itu jalur laut adalah jalur lalu lintas yang dapat menghubungkan antara satu wilayah dengan wilayah lain. Sehingga tidak aneh jika penyebaran Islam oleh Sunan Bonang sampai ke Bawean, Sunan Giri sampai ke daerah Sulawesi, Lombok dan sebagainya. Jalur laut pada masa awal penyebaran Islam, terutama laut Jawa telah mencapai puncaknya. Pada abad ke 12, jalur laut yang menghubungkan Jawa, Sumatera, Malaka dan Cina, sudah terbangun sedemikian rupa. Maka, para wali pun telah melakukan dakwahnya ke seluruh Nusantara melalui pemanfaatan jalur laut tersebut.
Islam pesisiran Jawa hakikatnya adalah Islam Jawa yang bernuansa khas. Bukan Islam bertradisi Arabyang puris karena pengaruh gerakan Wahabiyah, tetapi juga bukan Islam sinkretis sebagaimana cara pandang Geertz yang dipengaruhi oleh Islam tradisi besar dan tradisi kecil. Islam pesisiran adalah Islam yang telah melampaui dialog panjang dalam rentang sejarah masyarakat dan melampaui pergumulan yang serius untuk menghasilkan Islam yang bercorak khas tersebut. Corak Islam inilah yang disebut sebagai Islam kolaboratif, yaitu Islam hasil konstruksi bersama antara agen dengan masyarakat yang menghasilkan corak Islam yang khas, yakni Islam yang bersentuhan dengan budaya local. Tidak semata-mata islam murni tetapi juga tidak semata-mata Jawa. Islam pesisir merupakan gabungan dinamis yang saling menerima dan memberi antara Islam dengan budaya local.[10]
Varian Islam pesisir juga didapati di wilayah pesisir utara Jawa. Di pesisir Tuban bagian timur –tepatnya di Karangagung, Kecamatan Palang—juga didapati corak pengamalan Islam yang puris. Kelompok Muhammadiyah di desa ini cukup dominant dan bahkan jika dibandingkan dengan wilayah Tuban lainnya, maka di desa inilah kekuatan Muhammadiyah bertumpu. Jika pelacakan dilakukan ke arah timur di pesisir utara Lamongan, maka geliat Islam murni juga semakin nampak. Di sepanjang pesisir utara Lamongan –kecamatan Brondong terus ke timur sampai Gresik sebelah barat, maka dapat dijumpai Islam yang bertradisi puris. Meskipun tidak seluruhnya seperti itu, namun memberikan gambaran bahwa corak Islam pesisir, sesungguhnya sangat variatif. Wilayah pesisir Tuban ke barat, tampak didominasi oleh Islam local. Dari Tuban ke barat sampai Demak, corak Islam local masih dominan. Namun demikian juga bukan berarti bahwa di sana sini tidak dijumpai adanya pengamalan Islam yang bercorak murni tersebut.
Pada komunitas pesisir,  ada satu hal yang menarik adalah ketika di suatu wilayah terdapat dua kekuatan hampir seimbang, Islam murni dan Islam lokal, maka terjadilah tarikan ke arah yang lebih Islami terutama yang menyangkut  istilah-istilah, seperti slametan yang bernuansa bukan kesedihan berubah menjadi tasyakuran, misalnya slametan kelahiran, pindah rumah, mendapatkan kenikmatan lainnya, maka ungkapan yang digunakan bukan lagi slametan tetapi syukuran. Upacara memperingati kematian atau dulu disebut manganan kuburan sekarang diubah dengan ungkapan khaul. Nyadran di Sumur sekarang berubah menjadi sedekah bumi. Upacara petik laut atau babakan di pantai disebut sedakah laut. Upacara babakan untuk menandai datangnya masa panen bagi para nelayan. Dari sisi substansi juga terdapat perubahan. Jika pada masa lalu upacara nyadran di sumur selalu diikuti dengan acara tayuban, maka sekarang dilakukan kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Sama halnya dengan upacara sedekah laut, jika dahulu hanya ada acara tayuban, maka sekarang ada kegiatan yasinan, tahlilan dan pengajian. Secara simbolik hal ini menggambarkan bahwa ada pergerakan budaya yang terus berlangsung dan semakin mendekati ke arah tradisi Islam.[11]
Suasana keagamaan yang berbeda tampak pada suatu wilayah yang kecenderungan umum pelakunya adalah kebanyakan penganut NU. Di desa-desa pesisir yang aliran keagamaannnya seperti itu, maka tampak bahwa pengamalan beragamanya cenderung masih stabil, yaitu beragama yang bercorak lokalitas. Jika terjadi perubahan pun kelihatannya sangat lambat. Akan tetapi satu hal yang pasti bahwa upacara-upacara di medan budaya –sumur dan makam—sudah berubah menjadi lebih islami. Hal itu juga tampak dari sederetan upacara ritual yang menampakkan wajah islam secara lebih dominan, meskipun hal itu merupakan penafsiran atau hasil konstruksi yang mempertimbangkan lokalitasnya.
Islam pedalaman pun menggambarkan wajah varian-varian yang menonjol. Kajian Nakamura (1983) dan Mulkhan (1999) tentang Islam murni di wilayah pusatnya Jogyakarta maupun Islam murni di Wuluhan Jember tentunya merupakangambaran varian Islam ketika berada di dalam lokus sosial budayanya. Muhammadiyah yang merupakan gerakan keagamaan anti takhayul, bidh’ah dan churafat (TBC) ketika berada di tangan kaum petani juga mengalami naturalisasi. Muhammadiyah di Wuluhan juga menggambarkan fenomena seperti itu. Gerakan Muhammadiyah belumlah tuntas, sehingga Muhammadiyah di tangan Petani juga memberikan gambaran bahwa belum semua orang Muhammadiyah melakukan Islam sebagaimana penafsiran para elitnya tentang Islam. Empat tipe penggolongan orang Muhammadiyah di Wuluhan yang dilakukan oleh Mulkhan yaitu: Islam-Ikhlas yang lebih puris, Islam-Munu atau golongan Muhammadiyah-NU yang orientasinya kurang puris dan ada lagi Islam-Ahmad Dahlan yang tidak melakukan praktik bidh’ah tetapi membiarkan dan ada Islam-Munas atau Muhammadiyah-Nasionalisme yang tidak mengamalkan ajaran Islam atau disebut juga Marmud atau Marhaenis-Muhammadiyah.[12]
Di sisi lain, Nakamura juga memberikan gambaran bahwa gerakan tajdid yang dilakukan oleh Muhammadiyah juga berada dalam proses terus menjadi dan bukan status yang mandeg. Di dalam penelitiannya diungkapkan secara jujur bahwa islam diJawa ternyata tidak mandeg atau sebuah peristiwa sejarah yang paripurna, akan tetapi peristiwa yang terus berlangsung. Muhammadiyah adalah gerakan keagamaan yang bercorak sosial dan agama sekaligus. Muhammadiyah dalam pengamatannya ternyata tidak sebagaimana disangkakan orang selama ini, yaitu gerakan keagamaan yang keras, eksklusif, fundamental, namun merupakan gerakan yang berwatak inklusif, tidak mengedepankan kekerasan dan berwajah kerakyatan. Nakamura memang melakukan penelitian tentang Muhammadiyah di pusatnya yang memang menggambarkan corak keberagamaan seperti itu.[13]
Dalam banyak hal, Islam pedalaman memang menggambarkan corak varian yang bermacam-macam. Selain gambaran Muhammadiyah sendiri yang juga terdapat varian-varian pengamalan keagamaannya, maka di sisi lain juga menggambarkan watak keislaman yang sangat variatif. Corak Islam tersebut misalnya dapat dilihat dari semakin semaraknya tradisi-tradisi lokal di era pasca reformasi. Tradisi-tradisi yang pada masa lalu dianggap sebagai ritual, maka dewasa ini lebih dikemas sebagai festival-ritual. Artinya bahwa upacara ritual tersebut dilaksanakan dengan tetap mengacu kepada tradisi masa lalu, namun dikemas sebagai peristiwa festival yang bisa menghadirkan nuansa budaya dan ekonomi. Tradisi Suroan di beberapa wilayah Mataraman  dewasa ini, sungguh-sungguh telah masuk ke dalam wilayah festival budaya. Memang masih ada ritual yang tetap bertahan sebagai ritual dan dilakukan dengan tradisi sebagaimana adanya, sehingga coraknya pun tetap seperti semula. Tradisi itu antara lain adalah upacara lingkaran hidup,  upacara hari-hari baik dan upacara intensifikasi.[14] Namun untuk upacara kalenderikal kelihatannya telah memasuki perubahanyang mendasar, yaitu sebagai ritual-festival dimaksud.
Dalam banyak hal, tradisi Islam pesisir dan pedalaman memang tidaklah berbeda. Jika pun berbeda hanyalah pada istilah-istilah yang memang memiliki lokalitasnya masing-masing. Perbedaan ini tidak serta merta menyebabkan perbedaan substansi tradisi keberagamaannya. Substansi ritual hakikatnya adalah menjaga hubungan antara mikro-kosmos dengan makro-kosmos. Hubungan mana diantarai oleh pelaksanaan ritual yang diselenggarakan dengan corak dan bentuk yang bervariasi. Nyadran laut atau sedekah laut bagi para nelayan hakikatnya adalah upacara yang menandai akan datangnya masa panen ikan. Demikian  pula upacara wiwit dalam tradisi pertanian hakikatnya juga rasa ungkapan syukur karena penen padi akan tiba. Upacara lingkaran hidup juga memiliki pesan ritual yang sama. Upacara hari-hari baik dan intensifikasi hakikatnya juga memiliki pesan dan substansi ritual yang sama. Dengan demikian, kiranya terdapat kesamaan dalam tindakan rasional bertujuan atau in order to motive bagi komunitas petani atau pesisir dalam mengalokasikan tindakan ritualnya. Jika demikian halnya, maka perbedaan antara tradisi Islam pesisir dengan tradisi Islam pedalaman hakikatnya hanyalah pada struktur permukaan, namun dalam struktur dalamnya memiliki kesamaan. Atau dengan kata lain, substansinya sama meskipun simbol-simbol luarnya berbeda.
Kesimpulan
Rivalitas pesisir dengan pedalaman memang pernah terjadi dalam rentangan panjang sejarah Islam Jawa.  Namun seiring dengan perubahan sosial-budaya-politik dalam kehidupan masyarakat,  maka perbedaan itu tidak lagi didapatkan.  Dewasa ini, yang terjadi hanyalah perbedaan dalam simbol-simbol performansinya, namun sesungguhnya memiliki kesamaan dalam substansi. Perbedaan label ritual Islam, misalnya hanya ada dalam label luarnya saja namun dalam substansinya memiliki kesamanaan.
Islam baik pesisiran maupun pedalaman, ternyata memiliki varian-varian yang unik. Varian itu anehnya justru menjadi daya tarik karena masing-masing varian memiliki ciri khas yang bisa saja tidak sama. Pada masyarakat petani bisa saja terdapat varian Islam murni meskipun selama ini selalu dilabel bahwa Islam pedalaman itu Islam lokal. Demikian pula Islam pesisir yang selama ini dilabel Islam murni ternyata juga terdapat Islam lokal yang menguat dan berdiri kokoh.
Dengan demikian, genuinitas atau lokalitas Islam hakikatnya adalah hasil konstruksi sosial masyarakat lokal terhadap Islam yang memang datang kepadanya ketika di wilayah tersebut telah terdapat budaya yang bercorak mapan. Islam memamg datang ke suatu wilayah yang tidak vakum budaya. Makanya, ketika Islam datang ke wilayah tertentu maka konstruksi lokal pun turut serta membangun Islam sebagaimana yang ada sekarang.


[1] Periksa Ignaz Kleden, “Dari Etnografi ke Etnografi tentang Etnografi: Antropologi Clifford Geertz dalam Tiga Tahap” dalam Clifford Geertz, After the Fact. (Jogyakarta: LKiS, 1998), ix-xxi [2] Harsya W. Bachtiar, “Komentar” dalam Clifford Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa. (jakarta: Balai Pustaka, 1981).
[3] Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif versus Kebatinan. (Jogyakarta: LKiS, 2001)
[4] Muhaimin AG., Islam  dalam Bingkai Budaya Lokal: Potret dari Cirebon, (Jakarta; Logos, 2001)
[5] John Ryan Bartholomew, Alif Lam Mim, Kearifan Masyarakat Sasak. (Jogyakarta: Tiara wacana, 2001)
[6] Nur Syam, “Islam Pesisir’ (Jogyakarta:  LKIS, 2005)
[7] Andrew Beatty, “Adam and Eve and Vishnu: Syncretism in The Javanese Slametan” dalam The Journal of the Royal Anthropological institut 2 (June 1996).
[8] Niels Mulder, Agama, Hidup Sehari-hari dan Perubahan Budaya. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1999)
[9] Erni Budiwanti, Islam Sasak, Islam Wetu Telu versus Wetu Limo. (Jogyakarta; LkiS, 2000)
[10] Periksa Nur Syam, Islam Pesisir…
[11] Periksa Nur Syam, Islam Pesisir…
[12] Abdul Munir Mulkhan, Islam Murni Pada Masyarakat Petani. Jogyakarta: Bentang Budaya, 1999.
[13] Mitsuo Nakamura, Bulan Sabit Muncul dari Balik Pohon Beringin. (Jogyakarta: Gajah Mada Press, 1983)
[14] Upacara lingkaran hidup terdiri dari upacara perkawinan sampai kematian. Upacara hari-hari baik seperti pindah rumah, bepergian, dan membuat rumah dan sebagainya. Upacara intensifikasi seperti upacara penutupan tahun, penerimaan tahun baru, upacara tolak balak dan sebagainya. Upacara-upacara ini dilakukan secara intensif pada masyarakat Islam pedalaman. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Tadjoer Rijal, Tamparisasi Tradisi Santri Jawa. (Surabaya: Kampusiana, 2004) masih menggambarkan nuansa fenomena seperti itu. Demikian juga penelitian Woodward, Islam Jawa…, dan bahkan tulisan Geertz, Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa… juga masih memiliki relevansi dengan kecenderungan keberagamaan masyarakat Islam pedalaman hingga dewasa ini. Meskipun dikhotomi Santri-Abangan sudah memudar, namun dalam segmen tradisi keberagamaan masih dijumpai fenomena yang terus berlangsung.