spoon

PENGAKUAN KEDAULATAN INDONESIA MELALUI KONFERENSI MEJA BUNDAR (KMB)

3

Category :


Usaha Belanda untuk kembali menancapkan kekuasaannya di Indonesia dengan cara-cara kekerasan mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda pun terpaksa maju ke meja perundingan untuk menyelesaikan konflik dengan pihak Indonesia. Konferensi Meja Bundar (KMB) yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23 Agustus sampai dengan 2 November 1949 merupakan salah satu perundingan yang menjadi tonggak diakuinya kedaulatan dan kemerdekaan Indonesia.

Desakan-desakan dunia internasional telah memaksa Belanda untuk melakukan pendekatan-pendekatan politis terhadap pihak Indonesia. Langkah itu diawali dengan undangan Perdana Menteri Belanda Dr. Drees kepada Prof. Dr. Supomo, salah seorang anggota delegasi RI dalam lanjutan perundingan Renville. Selain itu, Belanda juga melakukan pertemuan dengan delegasi Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) yang terdiri atas Mr. Djumhana dan dr. Ateng, serta dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta. Pada tanggal 13 Februari 1949, Wakil Presiden Moh. Hatta menyatakan bahwa perundingan dapat dimulai jika pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta dan pasukan Belanda ditarik mundur sesuai dengan resolusi PBB. Keinginan Hatta tersebut disetujui pula oleh BFO.

Pada tanggal 26 Februari 1949, pemerintah Belanda menyatakan niatnya untuk menyelenggarakan KMB, merundingkan syarat-syarat “penyerahan” kedaulatan, serta pembentukan Uni Indonesia-Belanda. Pemerintah Belanda mengutus Dr. Koets sebagai Wakil Tinggi Mahkota untuk menemui Ir. Soekarno yang bersama beberapa pemimpin RI lainnya ditawan di Bangka. Dr. Koets berangkat ke Bangka pada tanggal 28 Februari 1949 kemudian menyampaikan penjelasan kepada Ir. Soekarno, antara lain :

1.       pemerintah Belanda akan mengadakan KMB di Den Haag untuk membahas “penyerahan” kedaulatan yang dipercepat,
2.       penarikan pasukan-pasukan Belanda secepat-cepatnya setelah “penyerahan” kedaulatan,
3.       mengenai pengembalian pemerintahan RI ke Yogyakarta dinyatakan belum dapat dilaksanakan.

Menanggapi penjelasan Dr. Koets tersebut, Presiden Soekarno setelah melakukan pembicaraan dengan penghubung BFO menyatakan penolakan menghadiri KMB, kecuali

1.    pengembalian kekuasaan RI harus dilakukan untuk memulai perundingan,
2.       kedudukan dan kewajiban Komisi PBB untuk Indonesia dalam membantu melaksanakan resolusi PBB tidak akan terganggu.

Senada dengan sikap Bung Karno itu, BFO juga menyatakan bahwa

1.       agar pemerintah RI dikembalikan ke Yogyakarta,
2.       Komisi PBB untuk Indonesia agar membantu melaksanakan resolusi,
3.       RI memerintahkan gencatan senjata.

Atas usaha keras dari Merle Cochran, anggota Komisi PBB dari Amerika Serikat, telah dicapai suatu persetujuan pada tanggal 17 Mei 1949. Ketua Delegasi Indonesia Mr. Moh. Roem menyampaikan kesanggupan sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan PBB tanggal 28 Januari 1949 serta petunjuk-petunjuknya tanggal 23 Maret 1949 untuk memudahkan

1.       pengeluaran perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk menghentikan perang gerilya,
2.       kerja sama dalam pengembalian perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban,
3.       turut serta dalam KMB di Den Haag untuk mempercepat “penyerahan” kedaulatan yang sungguh-sungguh dan lengkap kepada Negara Indonesia Serikat dengan tidak bersyarat.

Ketua Delegasi Belanda Dr. Van Royen menyampaikan pula pernyataan pemerintahnya yang antara lain berisi:

1.       Delegasi Belanda menyetujui pembentukan panitia bersama di bawah pengawasan Komisi PBB dengan tujuan
a.       mengadakan penyelidikan dan persiapan yang perlu sebelum pengembalian pemerintah RI,
b.       mempelajari dan memberikan nasihat tentang tindakan yang diambil dalam melaksanakan penghentian perang gerilya dan kerja sama dalam hal pengembalian perdamaian serta menjaga keamanan dan ketertiban.
2.       Pemerintah Belanda menyetujui bahwa pemerintah RI harus bebas dan leluasa melakukan jabatan sepatutnya dalam satu daerah meliputi Keresidenan Yogyakarta.
3.       Pemerintah Belanda membebaskan tidak bersyarat pemimpin-pemimpin Indonesia dan tahanan politik yang tertangkap sejak tanggal 19 Desember 1948.
4.       Pemerintah Belanda menyetujui RI sebagai bagian dari Negara Indonesia Serikat (NIS).
5.       KMB di Den Haag akan diadakan secepatnya setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta.

Sekembalinya para pemimpin RI ke Yogyakarta, diadakanlah serangkaian pertemuan antara pihak RI dengan BFO yang disebut Konferensi Antar-Indonesia. Tujuannya adalah untuk menyamakan pandangan dan pendapat dalam menghadapi KMB.

Pada tanggal 4 Agustus 1949 dipilihlah delegasi Indonesia yang terdiri atas Dr. Moh. Hatta, Mr. Moh. Roem, Prof. Dr. Mr. Supomo, dr. J. Leimena, Mr. Ali Sastroamidjojo, Ir. Djuanda, dr. Sukiman, Mr. Suyono Hadinoto, Dr. Sumitro Djojohadikusumo, Mr. Abdul Karim Pringgodigdo, Kolonel T.B. Simatupang, dan Mr. Sumardi. Delegasi BFO dipimpin oleh Sultan Hamid II dari Pontianak. KMB dimulai di Den Haag pada tanggal 23 Agustus 1949 dan selesai pada tanggal 2 November 1949.

Adapun hasil KMB, antara lain sebagai berikut.
1.       Serah terima kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS), kecuali Irian yang akan diselesaikan dalam waktu satu tahun.
2.       Dibentuknya sebuah Uni Belanda-Indonesia, dengan Kerajaan Belanda sebagai pemimpinnya.
3.       Pengambilalihan hutang Hindia Belanda oleh Republik Indonesia Serikat.

Hasil KMB kemudian diratifikasi oleh Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) pada tanggal 6 Desember 1949. Selanjutnya, pada tanggal 15 Desember 1949 diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno. Bung Karno terpilih sebagai Presiden RIS pada tanggal 16 Desember 1949 dan diambil sumpahnya pada tanggal 17 Desember 1949. Pada tanggal 20 Desember 1949 dibentuk Kabinet RIS yang pertama dipimpin oleh Drs. Moh. Hatta sebagai perdana menterinya. Akhirnya, pada tanggal 27 Desember 1949 diadakan upacara pengakuan kedaulatan di Belanda dan di Indonesia secara bersama-sama. Di Belanda, Ratu Juliana yang didampingi Perdana Menteri Dr. Willem Drees, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A. Sassen serta Ketua Delegasi RIS Drs. Moh. Hatta bersama-sama menandatangani naskah pengakuan kedaulatan kepada RIS. Pada waktu yang sama di Jakarta, Sri Sultan Hamengkubuwono IX mewakili RIS menandatangani naskah pengakuan kedaulatan bersama dengan Wakil Tinggi Mahkota Belanda A.H.J. Lovink.

Comments (3)

Makasih penjelasannya:-)

Terimakasih penjelasannya..

Post a comment