spoon

Perundingan Linggarjati

0

Category :


Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15 November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.

Latar Belakang

Masuknya AFNEI yang memboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa 10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

Misi pendahuluan

Pada akhir Agustus 1946, pemerintah Inggris mengirimkan Lord Killearn ke Indonesia untuk menyelesaikan perundingan antara Indonesia dengan Belanda. Pada tanggal 7 Oktober 1946 bertempat di Konsulat Jenderal Inggris di Jakarta dibuka perundingan Indonesia-Belanda dengan dipimpin oleh Lord Killearn. Perundingan ini menghasilkan persetujuan gencatan senjata (14 Oktober) dan meratakan jalan ke arah perundingan di Linggarjati yang dimulai tanggal 11 November 1946.

Jalannya perundingan

Dalam perundingan ini, Indonesia diwakili oleh Kabinet Sjahrir III yang dipimpin oleh Perdana Menteri Sutan Sjahrir dan tiga anggota: Mohammad Roem, Susanto Tirtoprodjo, dan AK Gani. Belanda diwakili oleh tim yang disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Schermenhorn dengan anggota Max Van Poll, F de Boer, dan HJ Van Mook. Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:
1.      Pemerintah RI dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasar federasi, yang dinamai Indonesia Serikat.
2.      Pemerintah Republik Indonesia Serikat akan tetap bekerja sama dengan pemerintah Belanda membentuk Uni Indonesia-Belanda.
3.      Belanda mengakui kedaulatan de facto RI atas Jawa, Madura, dan Sumatra.

Pro dan Kontra di kalangan masyarakat Indonesia

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan linggarjati.

Pelanggaran Perjanjian

 

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan penafsiran antara Indonesia dan Belanda.

Perjanjian Linggarjati


Delegasi-delegasi Belanda dan Indonesia dalam rapat pada hari ini telah mendapatkan kata sepakat tentang persetujuan di bawah ini, hal mana terbukti dari pemarapan naskah yang tersebut dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia masing-masing berlipat tiga.

Pemerintah Belanda,

dalam hal ini berwakilkan Komisi Jenderal,
dan
Pemerintah Republik Inonesia,
dalam hal ini berwakilkan Delegasi Indonesia,

oleh karena mengandung keinginan yang ikhlas hendak menetapkan perhubungan yang baik antara kedua bangsa, Belanda dan Indonesia, dengan mengadakan cara dan bentuk-bangun yang baru, bagi kerja-sama dengan sukarela, yang merupakan jaminan sebaik-baiknya bagi kemajuan yang bagus, serta dengan kukuh-teguhnya dari pada kedua negeri itu, di dalam masa datang, dan yang membukakan jalan kepada kedua bangsa itu untuk mendasarkan perhubungan antara kedua belah pihak atas dasar-dasar yang baru, menetapkan mupakat seperti berikut, dengan ketentuan akan menganjurkan persetujuan ini selekas-lekasnya untuk memperoleh kebenaran dari pada majlis-majlis perwakilan rakyatnya masing-masing.
Fasal 1.
Pemerintah Belanda mengakui kenyataan kekuasaan de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
Adapun daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Serikat atau tentara Belanda dengan berangsur-angsur dan dengan kerja-sama antara kedua belah pihak akan dimasukkan pula ke dalam Daerah Republik. Untuk menyelenggarakan yang demikian itu, maka dengan segera akan dimulai melakukan tindakan yang perlu-perlu, supaya, selambatnya pada waktu yang disebutkan dalam pasal 12, termasuknya daerah-daerah yang terserbut itu telah selesai.
Fasal 2.
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia bersama-sama menyelenggarakan segera berdirinya sebuah negara berdaulat dan berdemokrasi, yang berdasarkan perserikatan, dan dinamai Negara Indonesia Serikat.
Fasal 3.
Negara Indonesia Serikat itu akan meliputi daerah Hindia Belanda seluruhnya, dengan ketentuan, bahwa, jika kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, setelah dimusyawaratkan dengan lain-lain bagian daerah pun juga, menyatakan menurut aturan demokratis, tidak atau masih belum suka masuk ke dalam perserikatan Negara Indonesia Serikat itu, maka untuk bagian daerah itu bolehlah diwujudkan semacam kedudukan istimewa terhadap Negara Indonesia Serikat itu terhadap Kerajaan Belanda.
Fasal 4.
1.      Adapun negara-negara yang kelak merupakan Negara Indonesia Serikat itu, ialah Republik Indonesia, Borneo dan Timur-Besar, yaitu dengan tidak mengurangi hak kaum penduduk dari pada sesuatu bagian daerah, untuk menyatakan kehendaknya, menurut aturan demokratis, supaya kedudukannya dalam Negara Indonesia Serikat itu diatur dengan cara lain.
2.      Dengan tidak menyalahi ketentuan di dalam pasal 3 tadi dan di dalam ayat ke (1) pasal ini, Negara Indonesia Serikat boleh mengadakan aturan istimewa tentang daerah ibu-negerinya.
Fasal 5.
1.      Undang-undang Dasar dari pada Negara Indonesia Serikat itu ditetapkan nanti oleh sebuah persidangan pembentuk negara, yang akan didirikan dari pada wakil-wakil Republik Indonesia dan wakil-wakil sekutu lain-lain yang akan termasuk kelak dalam Negara Indonesia Serikat itu, yang wakil-wakil itu ditunjukkan dengan jalan demokratis, serta dengan mengingat ketentuan ayat yang berikut dalam pasal ini.
2.      Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang cara turut campurnya dalam persidangan pembentuk negara itu oleh Republik Indonesia, oleh daerah-daerah yang tidak termasuk dalam daerah kekuasaan Republik itu dan oleh golongan-golongan penduduk yang tidak ada atau tidak cukup perwakilannya, segala itu dengan mengingat tanggung-jawab dari pada Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia masing-masing.
Fasal 6.
1.      Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia untuk membela-perliharakan kepentingan-kepentingan bersama daripada Negeri Belanda dan Indonesia akan bekerja bersama untuk membentuk Persekutuan Belanda-Indonesia, yang dengan terbentuknya itu Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Hindia Belanda, Suriname dan Curacao ditukar sifatnya menjadi persetujuan itu, yang terdiri pada satu pihak dari pada Kerajaan Belanda, yang meliputi Negeri Belanda, Suriname dan Curacao dan pada pihak lainnya dari pada Negara Indonesia Serikat.
2.      Yang tersebut di atas ini tidaklah mengurangi kemungkinan untuk mengadakan pula aturan kelak kemudian, berkenaan kedudukan antara Negeri Belanda dengan Suriname dan Curacao satu dengan lainnya.
Fasal 7.
1.      Untuk membela peliharakan kepentingan-kepentingan yang tersebut di dalam pasal di atas ini, Persekutuan Belanda-Indonesia itu akan mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri.
2.      Alat-alat kelengkapan itu akan dibentuk kelak oleh Pemerintah Kerajaan Belanda dan Pemerintah Negeri Indonesia Serikat; mungkin juga oleh majlis-majlis perwakilan negara-negara itu.
3.      Adapun yang akan dianggap kepentingan-kepentingan bersama itu ialah kerja-bersama dalam hal perhubungan luar-negeri, pertahanan dan, seberapa perlu keuangan, serta juga hal-hal ekonomi dan kebudayaan.
Fasal 8.
Di pucuk Persekutuan Belanda-Indonesia itu duduk Raja Belanda. Keputusan-keputusan bagi mengusahakan kepentingan-kepentingan bersama itu ditetapkan oleh kelengkapan Persekutuan itu atas nama Baginda Raja.
Fasal 9.
Untuk membela-peliharakan kepentingan-kepentingan Negara Indonesia Serikat di Negeri Belanda dan kepentingan-kepentingan Kerajaan Belanda di Indonesia, maka Pemerintah masing-masingnya kelak mengangkat Komisaris Luhur.
Fasal 10.
Anggar-anggar Persekutuan Belanda-Indonesia itu antara lain-lain akan mengandung ketentuan-ketentuan tentang:
1)      pertanggungan hak-hak kedua belah pihak yang satu terhadap yang lain dan jaminan-jaminan kepastian kedua belah pihak menetapi kewajiban-kewajiban yang satu kepada yang lain;
2)      hal kewarganegaraan untuk warganegara Belanda dan warganegara Indonesia, masing-masing di daerah lainnya;
3)      aturan cara bagaimana menyelesaikannya, apabila dalam alat-alat kelengkapan Kerajaan Belanda memberi bantuan kepada Negara Indonesia Serikat, untuk selama masa Negara Indonesia Serikat itu tidak akan cukup mempunyai alat-alat kelengkapan sendiri;
4)      pertanggungan dalam kedua bagian Persekutuan itu, akan ketentuan hak-hak dasar kemanusiaan dan kebebasan-kebebasan, yang dimaksudkan juga oleh Piagam Persekutuan Bangsa-Bangsa.
Fasal 11.
1.      Anggar-anggar itu akan direncanakan kelak oleh suatu permusyawaratan antara wakil-wakil Kerajaan Belanda dan Negara Indonesia Serikat yang hendak dibentuk itu.
2.      Anggar-anggar itu terus berlaku, setelah dibenarkan oleh majlis-majlis perwakilan rakyat kedua belah pihak masing-masingnya.
Fasal 12.
Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia akan mengusahakan, supaya berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu telah selesai, sebelum tanggal 1 Januari 1949.
Fasal 13.
Pemerintah Belanda dengan segera akan melakukan tindakan-tindakan agar supaya, setelah terbentuknya Persekutuan Belanda Indonesia itu, dapatlah Negara Indonesia Serikat diterima menjadi anggauta di dalam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Fasal 14.
Pemerintah Republik Indonesia mengakui hak orang-orang bukan bansa Indonesia akan menuntut dipulihkan hak-hak mereka yang dibekukan dan dikembalikan barang-barang milik mereka, yang lagi berada di dalam daerah kekuasaannya de facto. Sebuah panitya bersama akan dibentuk untuk menyelenggarakan pemulihan atau pengembalian itu.
Fasal 15.
Untuk mengubah sifat Pemerintah Hindia, sehingga susunannya dan cara bekerjanya seboleh-bolehnya sesuai dengan pengakuan Republik Indonesia dan dengan bentuk-susunan menurut hukum negara, yang direkakan itu, maka Pemerintah Belanda akan mengusahakan, supaya dengan segera dilakukan aturan-aturan undang-undang, akan supaya sementara menantikan berwujudnya Negara Indonesia Serikat dan Persekutuan Belanda-Indonesia itu, kedudukan Kerajaan Belanda dalam hukum negara dan hukum bangsa-bangsa disesuaikan dengan keadaan itu.
Fasal 16.
Dengan segera setelah persetujuan itu menjadi, maka kedua belah pihak melakukan pengurangan kekuatan balatentaranya masing-masing.
Kedua belah pihak akan bermusyawarat tentang sampai seberapa dan lambat-cepatnya melakukan pengurangan itu; demikian juga tentang kerja-bersama dalam hal ketentaraan.
Fasal 17.
1.      Untuk kerja-bersama yang dimaksudkan dalam persetujuan ini antara Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, hendak diwujudakan sebuah badan, yang terdiri dari pada delegasi-delegasi yang ditunjukkan oleh tiap-tiap pemerintah itu masing-masingnya, dengan sebuah sekretariat bersama.
2.      Pemerintah Belanda dan Pemerintah Republik Indonesia, bila ada tumbuh perselisihan berhubung dengan persetujuan ini, yang tidak dapat diselesaikan denga perundingan antara dua delegasi yang terserbut itu, maka menyerahkan keputusan kepada arbitrage. Dalam hal itu persidangan delegasi-delegasi itu akan ditambah dengan seorang ketua bangsa lain, dengan suara memutuskan, yang diangkat dengan semupakat antara dua pihak delegasi itu, atau, jika tidak berhasil semupakat itu, diangkat oleh ketua Dewan Pengadilan Internasional.
Fasal penutup.
Persetujuan ini dikarangkan dalam bahasa Belanda dan bahasa Indonesia.
Kedua-duanya naskah itu sama kekuatannya.
Agresi Militer Belanda I
yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947. Agresi yang merupakan pelanggaran dari Persetujuan Linggajati ini menggunakan kode "Operatie Product".
Latar belakang
Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukannya sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.
Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggajati. Pada saat itu jumlah tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.
Agresi
Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak tanggal 20 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.
Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps Speciaale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa, melainkan dikirim juga ke Sumatera.
Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.
Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisucipto, Komodor Muda Udara dr. Abdulrachman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarno Wiryokusumo.
Pada 9 Desember 1947, terjadi Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.
Campur tangan PBB
Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.
Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris, yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli 1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan agar konflik bersenjata dihentikan.
Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1 Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1 November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.
Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.
Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia), dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Post a comment