spoon

PUTERA FAJAR

1

Category :

Pengantar Penyunting:

Rangkaian cerita di bawah ini diterjemahkan dan disadur oleh Dini S. Setyowati, dari sebuah buku berbahasa Jerman berjudul “Indonesien ’65 – Anatomie eines Putchs”, oleh dua pengarang Jerman (Republik Demokrasi Jerman ketika itu) yang lebih suka anonim, yang diterbitkan oleh Militaerverlag der Deutchen Demokratischen Republik (1975; 295 hal.). Terjemahan ini dipersembahkan bagi kaum muda Indonesia agar mengenal lebih banyak lagi sejarah bangsanya. Tidak semua data yang ditulisnya andal, tetapi analisis dan cara pandang yang ditawarkannya bisa merupakan masukan yang berharga.
Selamat membaca.
Redaksi
——-
Dini S. Setyowati: (dari milis siarlist )

PUTERA FAJAR

SUATU pagi, dalam bulan Agustus tahun 1965. Seorang laki-laki setengah umur berdiri di teras Istana Merdeka. Sebuah map yang diapitnya,dia rapatkan ke dada seolah ingin menenangkan hatinya yang berdebar-debar.
Itulah Kastur Rekso. Teman sekuliah Presiden Sukarno, sejak ketika mereka bersama-sama belajar di THS (Technische Hooge School – sekarang ITB) di Bandung. Sejak pergaulannya dengan Karno ketika itu – begitulah ia biasa menyapa akrab Sukarno, baik di bangku kuliah maupun di kamar kos yang mereka huni bersama – ia masih sering bertemu dengannya. Sekedar untuk mengobrol dan mengenang romantika masa muda mereka. Tapi selama itu selalu terjadi di warung atau rumah makan murahan. Tidak seperti kali ini. Di Istana Merdeka yang megah, dan tidak dengan Karno kawan satu kos, tapi dengan Bung Karno sebagai Presiden!
Kastur Rekso sendiri masih tetap bekerja sebagai guru di salah satu SMA dan hidup sederhana. Sedangkan Karno, sesuai dengan cita-citanya yang telah ia dengar ketika indekos pada Keluarga Sanusi, telah mencapai tujuannya. Yaitu menjadi pemimpin bangsa Indonesia.
Pagi hari ini, sesudah sekian lama saling berpisah, Kasto menjadi tamu terhormat Bung Karno Bapak Presiden. Baru kemarin malam ia tiba di ibukota, naik kereta api Bandung – Jakarta yang berjejal penuh sesak. Kesan pertama melihat suasana ibukota membuat Kasto kaget. Sepanjang jalan yang dilaluinya tampak kotor dan terbengkelai. Suramnya Jakarta tak tertutupi oleh kemegahan beberapa gedung hotel dan kantor dinas. Begitu pula beberapa patung monumental, dan puncak monumen nasional yang dipoles dengan warna emas kemilau, tidak berhasil memperindah suasana. Adanya patung-patung itu terasa semu, di tengah bertebarannya iklan-iklan yang meneriakkan merk pasta gigi dan sabun.
Perasaan aneh timbul ketika ia menyusur jalanan lebar seperti Jalan Thamrin. Di balik kemegahan mengintai kekumuhan. Juga manusia manusianya. Di tengah kesimpangsiuran dan kepadatan terasa anonimitas belaka.

Suasana yang monoton dan kelabu ini terkadang pecah oleh keramaian jalanan yang tiba-tiba: Barisan-barisan demonstrasi para pemuda dalam pakaian warna-warni meneriakkan yel-yel “Hidup Bung Karno! Hidup Republik Indonesia! Ganyang Malaysia! Hidup Nasakom!”
Kasto mengenal demonstrasi semacam itu. Di seluruh negeri terlihat suasana yang terasa dipaksakan seperti itu. Baginya semuanya itu tampak seperti dagelan. Tapi ia tidak berani menyatakan pendapatnya secara terang-terangan. Yang jelas slogan-slogan yang diteriakkan para demonstran itu tidak menyuarakan problem masyarakat yang sebenarnya: ekonomi yang terpuruk, harga pangan yang melambung, dan kesejahteraan yang merosot.
Rasa takut terhadap masa depan dan ketidakpuasan terhadap haluan kebijakan pemerintah yang hanya meneriakkan slogan-slogan nasionalis. Terasa seluruh negeri berada dalam suasana tegang, yang suatu ketika pasti akan meletus menjadi satu bencana.
Tapi bukan untuk itu Kasto datang ke Jakarta. Juga bukan hal-hal politik aktual yang hendak dibicarakannya dengan Presiden Bung Karno. Selama duapuluh tahun terakhir, sebagai guru, ia mengajar sejarah nasional dan bahasa Indonesia. Jabatannya itu telah memberi peluang baginya untuk menyusun sebuah naskah yang diberinya judul “Sejarah Bangsa Indonesia”. Dengan penuh ketekunan dikumpulkannya bahan bahan, dan setiap waktu luang dipakainya untuk menyusun semuanya itu menjadi sebuah naskah. Kurang lebih satu setengah tahun ia bekerja untuk itu.
Satu bendel tebal beberapa ratus halaman telah dikirimnya kepada Presiden Sukarno untuk dinilai. Tentu bukan sekedar untuk mencari restu dan kesetujuan Bung Karno untuk naskahnya itu, tapi terutama untuk mendengar pendapat Bung Karno. Apakah cocok apa yang telah ditulisnya itu dengan pengalaman Bung Karno, sahabatnya yang sangat dihormatinya itu. Bagaimanapun juga, di mata Kasto, Bung Karno adalah pelopor besar dalam sejarah bangsanya.
Dari pengalaman selagi masih di bangku kuliah, Bung Karno rajin mempelajari sejarah, dan selalu menjadi teman diskusi yang objektif dan berpandangan jernih. Sekarang Kasto ingin tahu, apakah Bung Karno yang sekarang masih juga Kusno yang dikenalnya dahulu. Si Guru dari Bandung ini merasa agak ciut hatinya ketika seorang perwira pengawal istana datang menjemputnya, di sebuah losmen murahan tempat ia menginap.
Ketika daun pintu jati dibukakan, ia masuk di sebuah ruangan yang luas. Kasto duduk di depan akuarium yang besar. Seperti tanpa disadarinya sendiri, ia berdiri dan membungkuk, mengamati ikan-ikan emas besar-besar di akuarium. Mereka berenang bermalas-malas, bermandi cahaya matahari pagi yang perlahan-lahan mulai memenuhi ruangan.
Ternyata di sinilah tempat Presiden Sukarno sarapan. Sebuah meja panjang sudah siap, ditutup dengan bermacam-macam hidangan makan pagi. Mulai dari nasi goreng, sayur lalapan dan lele goreng. Santapan sederhana yang dihidangkan dalam perabotan makan terbikin dari porselen mahal. Gelas-gelas kristal gemerincing, dan sendok serta garpu perak yang berkilauan oleh sinar pagi. Kecuali hidangan Indonesia tersedia juga hidangan ala Barat: roti, mentega, keju, jam, dan kue-kue.
Beberapa gadis berseragam masuk, membawa gelas-gelas besar berisi kopi dan teh. Sesudah mengaturnya di atas meja, sekali lagi ditelitinya apakah semuanya sudah lengkap, mereka mundur dari ruangan. Berdiri menunggu di pintu masuk.
Suasana masih terlalu pagi. Udara terasa sejuk. Presiden masih sibuk sembahyang subuh. Ruang sarapan yang luas ini mulai dipenuhi tamu-tamu. Memang sudah menjadi kebiasaan Presiden, setiap pagi berlangsung acara temu-wicara-sarapan bersama para tokoh pemerintahan, diplomat luar negeri dan para wartawan dalam dan luar negeri. Hadir juga beberapa pemimpin partai politik, di samping para menteri secara bergiliran dan teratur. Malahan juga para seniman, pelukis pematung dan penulis, baik dari dalam maupun luar negeri. Temu wicara sambil sarapan itu lalu menjadi sebuah diskusi yang hidup tentang segala aspek permasalahan. Biasanya diskusi ini berlangsung sampai dua jam, atau terkadang lebih, bergantung pada tamu yang datang dan agenda Presiden pada hari itu. Baru sesudah berdiskusi panjang lebar tentang situasi dalam dan luar negeri, Presiden memulai kesibukan hari kerjanya.
Juga pada pagi hari ini. Tamu yang datang cukup banyak. Tapi yang mencolok di mata Kasto sangat banyaknya tamu yang berseragam militer. Juga termasuk para penjaga istana. Hanya tukang kebon dan pekerja dapur barangkali tidak. Mereka bukan saja berseragam militer, tapi juga bersenjata lengkap. Kasto tahu Indonesia memang menjalankan politik “dwifungsi” untuk ABRI. Para perwira tinggi menduduki jabatan tinggi di bidang politik dan ekonomi. Gejala sudah tampak, pada jabatan aparat birokrasi negara pun, militer merajalela.
Presiden sendiri selalu memakai pakaian seragam. Teringat oleh Kasto sewaktu revolusi fisik. Dalam salah satu pidatonya pernah beliau mengucapkan, bahwa bangsa Indonesia harus bisa memakai pakaian seragam. Yaitu, kata beliau, untuk memperlihatkan kepribadian bangsa yang memberontak terhadap bangsa-bangsa yang sekian lama telah menjajah, dan memperbudak bangsa-bangsa jajahan sebagai “inlander-inlander yang bodoh”. Tapi apakah sekarang masih perlu begitu? Kasto bertanya-tanya dalam hati.
Akhirnya Presiden masuk ruangan dengan langkah-langkah yang gagah. Semua orang yang ada di situ berdiri dan memberi hormat. Presiden menghampiri mereka dan menyalami satu demi satu. Kasto kembali terheran-heran melihat pakaian Presiden dalam suasana setengah resmi pagi ini. Kemeja putih dan celana abu-abu dari bahan katun, agak lebar, sehingga terlihat sederhana dan santai. Satu-satunya yang tak ketinggalan tentu saja kupiah hitamnya yang khas itu. Meskipun wajah beliau kelihatan segar sehabis mandi dan bercukur rapih, tapi tak bisa menyembunyikan kelelahan yang diakibatkan oleh fisiknya yang sakit. Sudah lama diketahui Presiden mengidap penyakit ginjal yang agak parah. Beliau pernah dioperasi, sehingga tinggal satu ginjal saja yang berfungsi, dan ini pun sekarang sudah mulai sakit pula.
Selama Presiden menyalami, dan terkadang sambil menepuk bahu tamu-tamunya – beberapa tamu wanita dikecup keningnya – di belakang terus mengiringi dua wanita pengawal yang cantik-cantik dan berpakaian seragam Cakrabirawa. Dengan pandangan tajam mereka mengawasi suasana. Pada pinggang mereka bergantung pistol dan pentungan karet. Seperti semua anggota pasukan kawal Cakrabirawa, baik laki-laki maupun perempuan, mereka telah dilatih secara istimewa. Bukan saja dalam kemahiran menembak, tapi juga ilmu bela diri seperti karate dan judo. Begitu juga kepada mereka juga diajar tatacara pergaulan diplomatik, bahkan sampai pada keterampilan menyiapkan jamuan koktil.
“Nah, ini dia!” Seru Presiden ketika berhadapan dengan Kasto Rekso. Langsung ia menyalami dan memeluknya. Sambil masih menggenggam tangan Kasto, Presiden memperkenalkannya pada semua yang hadir. “Dia ini salah seorang sobatku yang paling lama. Kasto Rekso, guru dari Bandung. Kami pernah bersama-sama kuliah, bersusah payah bersama, berbagi periuk nasi dan tikar bersama, dan … kalau aku tak salah ingat juga mengejar satu gadis bersama! Ha-ha-ha!” Beliau tertawa dan Kasto menundukkan kepala. Malu melihat para tamu mengangguk angguk sambil tersenyum.
Sementara itu Presiden melanjutkan. “Bandung! Kota yang indah penuh kenangan. Ketika itu kami masih sangat muda. Waktu menghadapi penuh kesulitan. Jalannya perjuangan masih lama untuk ditempuh. Tapi kami berani menghadapinya. Sahabatku ini memutuskan untu melakukan pekerjaan yang tidak gampang tapi mulia. Yaitu menyusun karangan Sejarah Bangsa Indonesia, yang akan segera diterbitkannya.”
Presiden berpaling ke Kasto, dan berkata pelan. “Tulisanmu sudah kubaca. Nanti kita bicarakan bersama. Memang banyak yang ingin kuceritakan.” Berkata demikian sambil mendorong Kasto duduk di salah satu kursi, di sekeliling meja panjang itu. Sarapan pagi dimulai. Para tamu mengikuti gaya Presiden yang “main comot” saja. Presiden sendiri tak banyak makan. Mencicipi sedikit nasi goreng, sepotong roti toast, minum kopi tubruk hitam kesukaannya. Tapi di sela-sela itu juga diminumnya satu sendok madu berwarna kuning emas dari sebuah lodong besar di depan tempat duduknya. Konon madu ini dikirim dari Saudi Arabia sebagai salah satu di antara obat-obat yang harus diminumnya.
Sambil makan Kasto mendengarkan pembicaraan yang berlangsung antara para tamu. Seorang jenderal mengabarkan tentang sebuah insiden yang terjadi di perbatasan Brunei. Seorang pengusaha perlente memuji-muji mesin yang tahan hawa lembab produksi sebuah perusahaan asing. Tiba-tiba Presiden membanyol. Beliau memang suka, di tengah-tengah pembicaraan serius, tiba-tiba melontarkan lelucon.
Sukarno memang seorang yang berperangai santai dan penuh humor. Pribadi yang spontan dengan gaya yang tidak dibikin-bikin, dan dengan pancarannya yang memikat. Siapa yang melihat ketika beliau sedang duduk dan ngobrol santai, tidak bisa tidak akan terpesona oleh karismanya. Sama seperti ketika orang mendengar dan melihat beliau sedang berpidato di depan lautan massa dengan suaranya yang menggelegar.
“Memang! Ia benar-benar Penyambung Lidah Rakyat. Seorang pemimpin besar yang dilahirkan oleh Indonesia.” Berkata Kasto dalam hati, sambil memandangi Presiden yang masih terus bergurau dengan para tamu. “Dia tahu benar tentang daya kekuatan kata-kata, sehingga bisa membuat manusia tak berdaya melawan daya tariknya. Ia memiliki kemampuan menyampaikan hal-hal yang rumit secara sederhana, dan selalu mencoba mencari jalan keluar dari persoalan dengan jelas. Orang ini mampu mempesona, baik ketika sedang ngobrol santai, maupun ketika di depan massa yang gegap gempita mendengarkan pidato pidatonya yaang berapi-api. Bukan begitu saja Sukarno menerima sebutan Penyambung Lidah Rakyat. Tapi ini mencerminkan penghargaan rakyat yang paling tinggi kepadanya, yang timbul dari kecintaan rakyat kepadanya.”
Sepanjang proses penyusunan karangannya, kenangan Kasto pada masa muda bersama Sukarno, merupakan pertolongan dan pendorong yang sangat besar. Sosok “Bung Karno” tidak bisa dipisahkan dengan derap langkah revolusi Indonesia.
***
Catatan : Tulisan ini terdiri dari 12 halaman, untuk melanjutkan membacanya klik nomor halaman selanjutnya dibawah tulisan ini. (RUGI KALO TIDAK BACA SELURUHNYA)
Halaman: 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Comments (1)

Brass Stainless Steel Blade | TITanium-arts.com
Brass stainless steel blade is made ion titanium on brassy hair from steel that can be used as a ion titanium on brassy hair replacement babyliss pro nano titanium hair dryer for brass plates for titanium earrings iron and stainless blades. This unique trex titanium headphones stainless steel blade $49.95 · ‎In stock

Post a comment